Pesta Buku Jakarta 2008

Terlambat. Saya pikir itulah kata yang tepat bagi saya untuk berpartisipasi dalam Pesta Buku Jakarta 2008. Malam ini, 16 Juni 2008 pukul 19.50 WIB, selepas dari kesibukan kuliah dan praktik kuliah keprofesian psikologi di salah satu desa terpencil di Gunung Kidul, Yogyakarta, saya menjelajahi dunia maya dengan mencari informasi terbaru tentang fisika, sastra, filsafat, dan perlombaan menulis.


Setelah menjadi tamu pada beberapa milis dan blog teman-teman dan meninggalkan komentar, saya beralih ke boks search google. Lalu saya coba ketik kata kunci lomba menulis artikel, opini, puisi, dan cerpen untuk sekadar memuaskan rasa ingin tahu tentang apresiasi institusi, organisasi atau komunitas tertentu terhadap pengembangan minat membaca dan menulis di Indonesia. Boleh jadi saya salah, yaitu bukan untuk memuaskan kuriositas, tetapi ingin berpartisipasi agar bisa meramaikan dinamika minat membaca dan menulis melalui perlombaan tertentu, entah itu sebagai pemenang yang membawa hadiah dan kebanggaan atau sebaliknya, yaitu peserta yang pulang dengan lapang dada dari sebuah pentas perlombaan menulis.



Lalu saya menemukan informasi perlombaan untuk kalangan blogger yang diselenggarakan Pesta Buku Jakarta 2008. Saya baca dan teliti, apa itu Pesta Buku Jakarta? Lalu saya pelajari secara detil apa saja perlombaan yang panitia laksanakan dalam event pameran tersebut.


Setelah itu, saya juga membaca komentar pengunjung pada situs Pesta Buku Jakarta tersebut. Banyak pertanyaan, komentar, dan respon lainnya yang menunjukkan apresiasi dan minat pengunjung situs Pesta Buku Jakarta 2008. Saya kembali bertanya, apakah motivasi mereka? Kenapa bisa terjadi semacam utopia meraih prestasi, peluang euforia bagi para blogger, dan apresiasi yang besar tersebut? Itulah rentetan pertanyaan yang muncul di dalam benak saya secara spontan.


Kemudian saya beralih kepada hal yang cukup penting, yaitu persyaratan mengikuti perlombaan blog Pesta Buku Jakarta 2008. Saya pelajari untuk kemudian introspeksi, apakah blog saya pantas dan memenuhi syarat untuk ikut dalam lomba tersebut? Khususnya syarat panitia agar peserta memberi komentar atau resensi pada salah satu buku, apakah blog saya memenuhi syarat itu? Padahal blog saya yang lain, Datuk Hitam Online yang memberi komentar pada buku-buku saya dan penulis lainnya lebih bersifat komersil dibanding meresensi buku-buku tersebut sebagai bentuk upaya saya memenuhi celah-celah di dompet untuk tambahan biaya fotokopian bahan kuliah.


Setelah pertanyaan itu terjawab, ternyata sebuah keputusan saya pilih dibanding menganalisis motivasi pengunjung (utopia atau euforia) tersebut atau motivasi saya yang sesungguhnya. Sebab saya teringat pada sebuah pati kata anonim, "Hal terpenting bukanlah bagaimana seseorang tidak melakukan kesalahan, tetapi bagaimana seseorang bersedia melakukan kebaikan."


Setelah memahami keikutsertaan blog saya dalam lomba Pesta Buku Jakarta 2008, sebaiknya memang bertolak dari pati kata tersebut. Jika saya mengetahui ada suatu kepanitiaan yang berupaya untuk mengembangkan minat baca seperti yang sudah dilakukan oleh Pesta Buku Jakarta ini, tetapi saya tidak ikut serta, hal itu adalah suatu kesalahan besar karena saya melewatkan kesempatan untuk melakukan kebaikan.


Mungkin akan terkesan bertele-tele jika saya memberikan komentar yang panjang di atas atau saya tambahkan lebih jauh dalam paragraf-paragraf selanjutnya. Namun komentar yang bisa saya tuliskan untuk Pesta Buku Jakarta 2008 sangat sederhana, yaitu inilah budaya yang harus dikembangkan di Indonesia. Budaya membaca, budaya menulis, menggelar berbagai lomba dan eksibisi (pameran) buku, budaya berinteraksi dengan fasilitas blog, budaya menjalin diskusi dengan blogger yang dirangkum dalam paradigma menghargai buku sesuai pada kadar dan porsi tepat, yaitu buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Usul dan saran saya agar even-even semacam ini terus dilaksanakan tanpa mengabaikan esensi yang sesungguhnya, yaitu menciptakan suasana pengembangan ilmu pengetahuan melalui buku sebagai salah satu referensi yang bermanfaat bagi dinamika dan kesinambungan kehidupan umat manusia.


Oleh karena itu, alangkah baiknya jika salah satu program Pesta Buku Jakarta ke depan adalah rutinitas pendistribusian buku ke perpustakaan desa, entah itu ke perpustakaan umum yang sudah ada, perpustakaan keliling atau melalui perpustakaan sekolah-sekolah yang ada di desa. Program itu perlu dilakukan agar anak-anak, remaja, dan orang tua di desa bisa menikmati akses ilmu pengetahuan melalui buku-buku terbaru berupa komik, buku ilmiah populer, kamus, ensiklopedia, dan buku ilmiah. Saya yakin program itu adalah Pesta Buku yang sesungguhnya, yaitu perayaan ilmu pengetahuan yang tepat guna untuk pengembangan dinamika bangsa Indonesia dengan upaya menembus berbagai lapisan masyarakat dan melintasi batas geografis. Dengan demikian, kreativitas anak bangsa bisa terasah secara merata melalui pembiasaan perilaku mengenal, membaca, dan mencintai buku untuk menerapkan isi buku yang dibaca tersebut. Selain itu, potensi mata rantai kepenulisan juga akan tercapai karena program tersebut menciptakan adanya bibit-bibit penulis baru yang sudah seharusnya gemar membaca. Harapannya program tersebut bisa mengimplikasikan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang cerdas, bernas, dan berilmu pengetahuan.


Bangsa yang cerdas, bernas, dan berilmu pengetahuan akan memberi ruang kelahiran tokoh-tokoh besar yang kelak mencerdaskan anak bangsa lainnya dan mengharumkan nama bangsa ke dunia internasional. Tidak satu pun orang mengira bangsa ini melahirkan seorang pemimpin negara sekelas Bung Karno dari sebuah dusun yang bernama Lawang Seketeng, salah satu tempat terpencil di Mojokerto, Surabaya, Jawa Timur. Bisa dibayangkan jika penyebaran ilmu pengetahuan ke desa terpencil melalui program tersebut akan melahirkan generasi penerus bangsa yang mengenal dan mencintai buku. Mengapa hal itu penting? Sebab begitulah Bung Karno yang dikenal sebagai kutu buku dan menuliskan ide-idenya ke dalam bentuk buku pula.


Selain itu, fungsi utama dari ilmu pengetahuan adalah sarana manusia untuk mencari dan mengaktualisasikan kebenaran. Tokoh Indonesia lainnya, misalnya Bung Hatta dan Buya Hamka, mereka adalah kutu buku yang mempertahankan kebenaran sampai akhir hayat. Ide-ide mereka cemerlang. Sebut saja ide Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan versi Bung Hatta dan karya-karya sastra Buya Hamka yang sering mengangkat tema cinta dan kasih sayang. Ironinya, paham neo-liberalisme yang berkolaborasi dengan paham ekonomi kapitalisme mempengaruhi bangsa ini dibanding Ekonomi Kerakyatan ala Bung Hatta yang memihak orang kecil dan mendukung pesatnya ekonomi makro secara beriringan. Di sisi lain, masih saja argumen ngelantur dianggap sebagai kritikan pedas yang menghujat adanya unsur plagiarism novel Buya Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dari karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine, padahal tidak demikian adanya.


Jika anak bangsa seperti mereka yang punya ide-ide cemerlang dan sejarah mencatat perlakuan itu secara timpang, alangkah timpangnya Pesta Buku Jakarta 2008 jika memandang buku sebagai media komersialisasi tanpa mengindahkan keberpihakan pada masyarakat kecil melalui program-program yang konkrit. Apabila asumsi itu benar, boleh jadi sebuah Pesta Buku akan diasumsikan sebagai aplikasi ide plagiat dari ekonomi neo-liberalisme yang mendukung pemilik modal profitable dan cenderung mengabaikan wong cilik. Inilah ciri utama kapitalisme sebab mencari keuntungan semata tanpa mempedulikan elemen penting bangsa ini, yaitu kelompok masyarakat yang sulit mendapatkan buku karena faktor kemiskinan dan letak geografis yang terpencil. Inilah kebenaran yang harus direnungkan dengan jernih oleh kepanitiaan Pesta Buku Jakarta 2008.

Tentu saja kemeriahan Pesta Buku akan lebih terasa jika program itu terlaksana secara adil dan merata dari satu desa ke desa lain pada tahun-tahun berikutnya. Bagaimana caranya pesta itu lebih meriah? Bisa saja dengan cara memanfaatkan perpustakaan keliling, perpustakaan yang sudah ada atau koordinasi panitia dengan lembaga pendidikan yang ada di pedesaan. Koordinasi itu dilakukan sebagai bentuk proses sosialisasi tentang distribusi buku sekaligus menyelenggarakan perlombaan untuk anak-anak, misalnya lomba meresensi buku atau komik. Mungkin, bagi anak-anak kita yang setiap hari merasakan perut yang kenyang, tertidur pulas di balik kehangatan selimut demi meredakan dinginnya Air Conditioner dengan suhu 16 derajat celcius, sekotak buku tidak terlalu berharga jika dibungkus sebagai hadiah. Tetapi hadiah sekotak buku dan sejumlah uang sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak di desa yang berkulit legam.


Sungguh menyenangkan jika melihat wajah-wajah anak bangsa di pedesaan yang riang karena membaca buku-buku terbaru. Entah keriangan itu karena rasa heran tentang dunia luar yang begitu luas dan memberikan harapan atau justru pulang ke rumah dan mengadu kepada orang tuanya, "Ayah, saya tidak mengerti isi buku ini. Ajarkan saya maksudnya, Yah." Itulah keriangan ilmu pengetahuan, yaitu kuriositas, ketakjuban, dan diskusi yang berkelanjutan.

Peristiwa dramatik yang paling konyol sekaligus menyenangkan bisa saja terjadi ketika seorang anak yang pulang ke rumah dalam keadaan menangis karena kalah dalam lomba meresensi buku. Kemudian jemari sang Ibu menghiburnya dengan belaian lembut di celah-celah rambut anaknya yang kusam dan berdebu--sambil si ibu yang sulit membaca karena baru lepas dari buta huruf dengan program kejar Paket A--membacakan komik-komik hadiah hiburan bagi peserta lomba resensi buku. Lalu duka kekalahan si anak berganti tawa. Keriangan itu bukan disebabkan lucunya isi buku komik, tetapi si anak merasa lucu melihat lidah ibunya hampir keseleo atau tergigit karena kesulitan membacakan cerita itu. Tentu saja sang ibu
ikut tertawa melihat anaknya terhibur, meskipun dia sadar mereka berdua sedang menertawakan dirinya sendiri. Inilah keriangan yang sesungguhnya dari sebuah perayaan pesta buku, yaitu efek domino yang berangkat dari pemilik modal kepada konsumen yang hidup dalam komunitas, keluarga yang harmonis, dan terbentuknya bangsa yang cerdas, bernas, dan berilmu pengetahuan.

Perayaan atau pesta buku bukanlah cuma berwujud program berupa simbol-simbol ekonomi, pameran buku, launching buku, bedah buku, dan parade para penulis. Pesta atau perayaan selayaknya menyentuh aspek kebenaran karena kebenaran tidak selalu apa yang terlihat oleh mata dan didengar oleh telinga. Kebenaran lebih banyak terselubung di lipatan-lipatan hati yang seringkali terabaikan. Begitu pula para penulis yang terus berupaya mempertahankan standar idealisme, kepedulian sosial, dan mewujudkan visi-visi mereka dengan hadir di pesta buku itu, padahal boleh jadi segelintir penulis yang hadir itu justru sedang gundah memikirkan persediaan susu untuk anak-anaknya sebab royalti buku mereka belum dicairkan oleh penerbit.


Akhirnya, Pesta Buku Jakarta 2008 ini menyisakan suatu kesimpulan untuk saya terlepas apakah blog ini memenuhi kriteria panitia atau dewan juri untuk memenangkan Lomba Blogger Pesta Buku Jakarta 2008 atau relevansi ide dan masukan saya tersebut, yaitu memberikan kontribusi dengan berpartisipasi langsung sebagai peserta dalam Lomba Blogger Pesta Buku Jakarta 2008. Boleh jadi panitia atau dewan juri memandang narasi ini adalah cerita tentang diri saya sendiri sesaat pada fragmen hidup di salah satu malam yang selalu menyisakan hari esok. Namun, ada sisi lain yang boleh jadi bisa dilihat oleh dewan juri, panitia Pesta Buku Jakarta 2008, dan pengunjung blog saya melalui komentar pada posting halaman muka ini. Sisi lain itu adalah apresiasi saya terhadap Pesta Buku Jakarta 2008 meskipun saya berada di kota yang berbeda dan relatif terlambat mengetahui dan berpartisipasi pada perayaan yang spektakuler ini. Tentu saja harapan saya kelak Pesta Buku Jakarta bisa memberikan kontribusi pada anak bangsa yang berada di daerah terpencil melalui alokasi dana dan pengawasan yang efektif dan efisien. Pengawasan yang efektif berarti adanya kontrol agar tidak terjadi penyelewengan, sedangkan pengawasan yang efisien bermakna operasional program yang tepat sasaran dan ditutup dengan evaluasi pelaksanaan program tersebut demi perbaikan kesinambungan pelaksanaan program itu di masa yang akan datang.


Salut untuk Pesta Buku Jakarta 2008!
Semoga sukses untuk panitia, pengunjung Pesta Buku Jakarta, dan blogger yang menjadi peserta lomba ini. Kepada pengunjung blog ini, silakan membaca informasi lengkap tentang Pesta Buku Jakarta 2008 di posting saya berikut ini dan silakan klik, Informasi Pesta Buku Jakarta 2008.


Terima kasih.
Salam,
Bahril Hidayat


Lihat Profil Blogger

Tidak ada komentar:


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.