Only God Knows Why

Cermin Kebeningan Self Report



Pagi ini alunan lagu Kid Rock, Only God Knows Why, menjadi pengiring tafakur yang terus mengalir ibarat anak sungai menuju lautan. Aliran tafakur bermula ketika di tahun 1999, waktu bagi masa lalu merekonstruksi jiwa yang rapuh dengan cara berjualan dan mengecer kelapa di pasar-pasar tradisional. Pekerjaan itu sengaja kujalani agar mendidik mental yang rusak selama belasan tahun, mental yang tidak menghargai uang dan suka berfoya-foya.


Setiap hari berjualan di pasar tradisional, di Pasar Kodim, Pekanbaru, sejak pukul lima pagi dinihari. Aku melihat perempuan-perempuan muda, orang tua, anak-anak yang berangkat sekolah, nenek-nenek berjualan dan berbelanja di emperan atau copet dan pemalakan di pasar itu. Sesekali pandangan berpaling karena ada pembeli dari mobil pick up Daihatsu tua yang mengangkut 300-400 buah kelapa daganganku. Aku ingat sekali wajah seorang nenek tua yang baik sebagai langganan kelapa daganganku sebab beliau sering memborong kelapa untuk dijual lagi. Penyebabnya karena beliau selalu meminta tolong mengangkat kelapa yang dibelinya ke mobil milik suaminya yang diparkir sekitar 100 meter dari tempat mobil pick up aku parkir dan berjualan. Ya, ingat sekali karena nafas ini sesak setelah memanggul 40 buah kelapa di dalam karung demi nenek langganan saya itu.



Tak jarang, kelapa yang diecer ke warung-warung mengakibatkan amarah dari pemilik warung itu yang ngomong, ”Kelapa kamu busuk! Saya nggak mau tahu. Ganti yang baru!” Aku cuma tersenyum malu dan mengganti kelapa busuk itu lalu menjawab seperlunya dengan dada yang panas karena hardikan itu. Memang sudah takdir kelapa itu dijadikan kopra dan dijual kiloan, setelah dikorek dari tempurungnya dan dijemur selama 2-3 hari, begitu kata hatiku yang coba menghibur diri dari perlakuan tersebut.


Awal tahun 2006, bayang-bayang masa menulis tema kesusastraan melekat di belahan-belahan otak ini. Tanpa background pendidikan sastra, bukan pula pembaca novel atau puisi kontemporer, tapi hati ini terus menggeliat ingin menuliskan fenomena-fenomena intrinsik dan ekstrinsik yang dialami. Tak bisa ditahan, akhirnya jemari ini menari di atas keyboard komputer tua yang kubeli second hand dari seorang teman. Terkumpullah empat naskah buku dalam satu tahun.


Kemudian empat naskah itu mengembara ke berbagai penerbit. Penolakan demi penolakan dialami. Ada penerbit yang menolak dengan bahasa yang halus, ada yang memberi jawaban dengan setengah mengejek, ada yang coba ambil keuntungan dengan minta aku yang biayai penerbitannya, dan ada yang mengabaikan; tidak memberikan jawaban. Di antara surat penolakan yang kurang menyenangkan, aku bingkai untuk digantung di dinding ruang menulis. Keluarga tertawa heran dan bertanya, kenapa surat penolakan yang digantung? Kenapa bukan piagam-piagam penghargaan di masa lalu? Aku menjawab bahwa aku ingin berhasil dari kegagalan di masa kini, bukan berhasil dari kebanggaan di masa lalu.



Setiap rasa gagal itu muncul, QS al-Baqarah 216 terus menemani pikiran dan hati ini. Ayat yang berbunyi boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia baik untukmu, boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia buruk untukmu. Sesungguhnya Allah Maha Tahu, sedangkan kamu tidak tahu apa-apa, terus mengalun untuk meruntuhkan keputus-asaan dan sekaligus membentuk pemahaman tentang hikmah di balik suatu peristiwa. Pada sisi berpikir yang humoris, aku berbisik dalam hati, sejauh mana sih mereka tahan menolak naskah-naskahku? Aku ingin tahu sampai kapan mereka akan bosan sendiri menolak naskah-naskah itu. Alhamdulillah, aku berhasil menertawakan diri sendiri saat itu.


Hingga akhirnya Allah memberikan jalan penerbitan naskah-naskah itu di akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007. Buku Datuk Hitam memperoleh apresiasi atau penghargaan Sastra tingkat Nasional, salah satu buku memoar Best Seller, buku-buku lainnya menggembirakan banyak orang, salah satu buku diteliti oleh mahasiswi yang menulis skripsinya, dll. Sayangnya, tak banyak yang memahami esensi cerita pada buku-buku tersebut, tapi sebatas melihat sisi permukaannya.
Bahkan salah seorang editor yang menganalisa di permukaan sebuah naskah cerita, pernah mengritik naskah memoar keduaku padahal belum selesai dibacanya.


Dia mengritik alur cerita memoar itu yang memuat alur bolak-balik dan minta agar aku menyusun ulang dalam bentuk alur maju. Aku pahami dan menerima itu sebagai bentuk perbedaan pendapat dalam menerapkan alur cerita pada sebuah novel, meskipun alur maju adalah ciri khas naskan roman pada tahun 50-an, bukan ciri khas naskah kontemporer.
Tapi yang kurang aku pahami ketika dengan entengnya dia mengatakan untuk meniru naskah-naskah kontemporer yang meledak di pasaran dan mengubah naskah itu menjadi seperti naskah yang ia sebutkan, yaitu novel fiksi yang runtut dan detil. Aku coba mengerti dia, meskipun dia tidak mengerti bahwa cerita faktual bisa menjadi referensi bagi pembaca, yaitu suatu peristiwa yang pernah terjadi tentu saja bisa terjadi lagi pada orang lain yang coba menerapkannya. Itulah harapanku jika novel memoar dibaca oleh keluarga penderita dan penderita skizofrenik agar mereka memahami bahwa ada jalan kesembuhan bagi setiap penyakit. Mungkin juga penyebab lainnya sudah kebiasaan sebagian penerbit (editor) untuk membatasi kreativitas penulis demi identifikasi tema-tema naskah yang sedang meledak. Ya, harapan agar buku-buku mereka meledak tanpa melihat sisi esensial dari sebuah naskah. Kemudian, seakan-akan dia seorang ahli psikologi memberi nasihat kepadaku melalui sms bahwa naskah-naskah memoarku yang runtut dan detil menurut idenya itu akan menjadi defence mechanism yang efektif agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa sekarang. Aku tertawa membaca sms itu dan akhirnya menarik naskah itu dari penerbitnya dan memberikan jawaban yang santun di sms itu agar mentalnya yang belum matang tidak pecah jika mendengar jawaban yang sesungguhnya, yaitu bukan hal yang mudah untuk membuka aib sendiri dan orang lain sebab surat alHujurat membatasi saya membuka aib orang lain, dan kode etik psikologi yang membatasi seorang praktisi psikologi untuk mengungkap sumber data orang lain. Apalagi bagi keturunanku kelak yang hidup dalam zaman yang tak menentu ini, tentu saja sedikit banyaknya akan menanggung aib itu.


Aib itu relevan dengan arus pandangan neurobiologi yang mengatakan skizofrenik adalah penyakit genetik (turunan) berkembang dengan argumentatif pada orang-orang awam tanpa pendidikan psikologi. Padahal data itu sebatas mencocok-cocokkan (korelasional) saja yang reliabilitas dan validitasnya masih sangat diragukan. Hebatnya lagi banyak psikolog dan psikiater yang membeo dengan data itu tanpa mempertimbangkan dampaknya pada penderita skizofrenik dan keluarga mereka. Bayangkan dengan data terbaru, penderita skizofrenik adalah 1,5 % dari populasi maka ada 3 juta orang Indonesia dirugikan oleh teori itu. Lalu siapa lagi yang dirugikan? Anggaplah setiap penderita adalah anak tunggal dari pasangan suami istri, maka tinggal menambahkan 6 juta orang lagi. Total manusia Indonesia yang dirugikan adalah 9 juta dari 200 juta penduduknya. Inilah akibat jika ahli ilmu jiwa dengan gelar dari bangku kuliah menjadi ilmuwan pengikut bak kerbau yang dicucuk hidungnya terhadap sebuah teori dengan validitas dan reliabilitas yang rendah dan diragukan. Allahu a'lam.
Saat ini, aku berbisik di dalam hati, biarkan semua itu mengalir di permukaan.


Ejekan, wajah sinis dan takut karena aku disangka masih gila, pujian yang berlebihan, prasangka-prasangka, dan fitnah dari mulut yang tidak dikontrol tapi mengaku kasyaf (punya ilmu terawang). Salah seorang yang cukup dikenal karena pengakuan ke-kasyaf-annya pernah berkata, "Mari saya bantu hilangkan memori negatif kamu." Begitu ucapan dia berulang kali di depan publik. Bukan itu saja kalimatnya yang asal bunyi, tapi masih banyak kalimat lain yang suka merendahkan aku atau orang lain dengan terang-terangan menyebut identitas orang-orang yang sedang dia ceritakan (membuka aib orang lain).
Sebenarnya, aku bingung sendiri mendengar ucapan itu dan tak bisa memberi jawaban karena karakter figur otoritas yang dimilikinya tidak siap untuk dikritik jika salah. Soalnya pernah aku coba berdiskusi tentang suatu tema, tapi jawaban yang muncul justru nada marah yang irasional. Yang aku heran lagi, apakah aku masih sakit seperti yang dia "terawang"? Apakah dia mengarang-ngarang saja agar terlihat bisa menerawang? Memori negatif mana yang dia maksud? Jika kesalahan-kesalahan dan dosa-dosaku di masa lalu sering ditangisi saat beristighfar kepada Allah adalah memori negatif, maka aku sangat menyukai memori itu sebab tangisan memohon ampun kepada Allah akan menggugurkan kesalahan-kesalahanku di masa lalu. Aku berharap kepada Allah, memori itu adalah cara untuk meneladani Sayidina Umar ra. yang menangisi kesalahan beliau di masa lalu (jahiliyah) ketika pernah mengubur anak perempuannya hidup-hidup, meskipun hampir saja beliau disangka gila oleh sahabat Salman alFarisi sebab setelah menangisi hal itu, beliau menertawakan diri sendiri karena pernah pula membuat patung berhala dari roti. Setelah disembah, lalu beliau makan patung roti itu. Alangkah beruntungnya saya disangka gila demi meneladani Sayidina Umar ra. yang suka menangis dan tertawa ketika bermuhasabah, bukan memori negatif yang dianggap kelemahan bagi orang tertentu yang merasa dirinya suci dari kesalahan. Na'uzubillah, celakalah manusia yang tidak takut kepada Murka Allah sebagaimana celaka bagi manusia yang berputus-asa dari Rahmat Allah. Tetapi Allah berikan keberuntungan kepada mereka yang berada di antara keduanya.


Sesekali ketika sikap iseng tergelitik, aku suka mempermainkan orang-orang yang suka berprasangka dan memfitnah itu (kecuali temen-temen yang suka bergurau denganku tentang kegilaan-kegilaan kami, sungguh, gurauan mereka menghibur). Cara isengku dengan memberikan jawaban seenaknya atau menertawakan mereka. Padahal sudah lama obat antipsikotik tidak aku konsumsi karena sudah cukup waras, tapi sesekali harus tampil gila di hadapan orang-orang yang mengaku waras tersebut agar memuaskan prasangka atau fitnah mereka. Ternyata memang tidak mudah melepas label atau stigma negatif yang tertanam selama ini, bahkan bagi kalangan orang-orang yang (mengaku) berpengetahuan.



Mungkin, lebih baik jika mereka berusaha mengenal dan mengetahui diri sendiri terlebih dahulu, kemudian mereka coba memahami tulisan-tulisan yang pernah aku susun sebagai bagian dari dinamika ilmu pengetahuan yang insya Allah akan bermanfaat bagi saya, penderita skizofrenik, keluarga penderita, dan pembaca yang ingin melihat sudut pandang baru yang (boleh jadi) lebih baik. Bukan membangun kebanggaan dibalik topeng kewarasan yang tidak manusiawi sebab perilaku itu bisa menghancurkan orang-orang di sekeliling kita. Sebab hati ini hancur mengingat suatu malam tentang perlakuan beberapa orang yang mengusir salah seorang yang gila yang sedang menginap; berteduh di salah satu pos ronda yang tidak difungsikan penduduk sekitar. Sungguh, hati ini hancur ketika mendengar orang gila semakin parah penyakitnya karena label negatif dan kemiskinan yang mengakibatkan mereka tidak mampu berobat. Sungguh, hatiku hancur ketika seorang ibu janda tua di Bali memandikan dua anak laki-lakinya yang gila di dalam kerangkeng setelah beliau tidak mampu lagi membiayai pengobatan anak-anaknya tersebut di Rumah Sakit Jiwa. Dan sungguh, memoarku disusun dengan seleksi cerita yang ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sebab suatu perbuatan adalah dzalim jika memberikan sesuatu kepada yang tidak berhak dan menahan sesuatu kepada yang berhak. Dengan demikian, aku berharap bisa memberikan manfaat kepada orang gila, sang ibu yang bersedih, dan keluarga yang kebingungan mencari jalan kesembuhan untuk keluarganya yang menderita skizofrenik.


Biarkan para psikolog dan psikiater mengalir di permukaan empati dan insya Allah aku dan siapa saja yang memahami ini akan menyelam bersama mereka di dalam larutan simpati. Dengan demikian, kami berharap kepada Allah agar doa-doa simpati menjadi penyembuh dari semua penyakit, bukan rasionalitas ilmu pengetahuan yang bertopeng empati dan objektivitas suatu teori yang memisahkan diri (denial) dari nilai-nilai ketuhanan. Meskipun sebagian dari mereka yang rasional yang membaca tulisan ini akan berkata, ternyata Bahril Hidayat adalah mantan orang gila pada fase residual yang sangat emosional. Itulah argumen terakhir bagi mereka yang mengagungkan diri melalui aspek rasionalisme. Allahu a'lam.
Setiap orang yang membaca tulisan ini, entah mereka memahami maksud tulisan ini atau tidak, apa alasanku mempublikasikannya juga tidak perlu diketahui. Ada yang kemudian memanggilku ustad jika berbicara tentang Islam, aku langsung mengucapkan kata amin di dalam hati. Ada juga yang memandang ini adalah "buku putih" dari kesalahan-kesalahanku, maka aku bertawakal kepada Allah.


Pada tapal batas akhir hidup ini, orang-orang akan diselamatkan Allah karena air mata yang mengalir dari rasa bersalah, air mata yang menyadari bahwa selama ini lalai dari bertasbih dan suka berprasangka kepada Allah, dan air mata yang mengantarkan kita pada suatu pemahaman, sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepadaNya. Seperti itulah air di ceruk anak sungai yang mengalir ke lautan, lalu matahari menguapkan air laut agar menjadi curah hujan. Sungguh, saat itulah langit yang menurunkan hujan akan membasahi tanah-tanah yang kering sebab kerapuhan serpihan debu di permukaan tanah itu. Akhirnya, aliran tafakur ini diwarnai oleh bait-bait terakhir lagu Only God Knows Why yang semakin menghentak keras di relung hatiku dan pembaca yang menyediakan waktu untuk membuka mata hatinya*.

...

People dont know about the things I say and do//they dont understand about the shit that I've been through//its seems been so long since I've been home//I've been gone, I've been gone for way too long//maybe I forgot all the things I miss/Oh somehow I know theres more to life than this//I said it too many times and I still stand firm/you get what you put in and people get what they deserve//Still I aint seen mine //No I aint seen mine//I've been giving just aint been gettin//I've been walking down that line//So I think I'll keep on walking with my head held high//I'll keep moving on and only God knows why//Only God... only God//Only God knows why//Only God... knows ... why//Take me to the river, hey!//Take me to the river!

Yogyakarta, 18 Juli 2008



_________

* Bagi saudara-saudara saya yang Muslim, sebaiknya kutipan bait lagu itu dipahami melalui ucapan Sayidina Ali ra. dengan redaksi kira-kira berikut ini, "Dengarkanlah (ambillah) hikmah di mana pun ia berada. Adakalanya hikmah bersemayam di hati orang munafik, namun ia akan gelisah dan tak akan berdiam diri sampai berhasil keluar dan bergabung di dalam hati seorang mukmin." Jika saudara saya yang Muslim memandang pengutipan dari bait lagu Kid Rock tersebut suatu hal yang tidak pantas, mohon renungkan saja ucapan Sayidina Ali ra. tersebut.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mas Bahril, hanya Tuhan yang tahunya jangan lama-lama. Karena sudah kadung baca memoar 1 dan 2, yang ketiga pasti dinanti.


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.