Bedah Buku Datuk Hitam

Memahami Bahril,
Memahami Datuk Hitam
Oleh H. Fuad Nashori, Psikolog

Makalah ini disampaikan dalam Bedah Buku “Datuk Hitam” yang diselenggarakan Penerbit Fahima bekerjasama dengan Toko Buku Togamas, Yogya, 9 Februari 2007.



Judul : Datuk Hitam: Cerita Humor Rakyat Melayu
Penerbit : Pustaka Fahima, Yogyakarta
Kata Pengantar : H. Fuad Nashori, Psikolog
Tebal : 234 halaman.
Harga : Rp 24.000


Siapa Bahril Hidayat? Siapakah Datuk Hitam? Apa isi buku ini? Apakah kaitan Datuk Hitam dan Abu Nawwas? Apa saja kritik dan saran yang perlu dilayangkan kepada buku/penulis buku ini? Itulah beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui bedah buku ini.


Sekilas Bahril

Bahril Hidayat adalah mutiara yang kesepian. Pikiran dan gagasannya ke mana-mana, tetapi raganya terpenjara oleh problem psikotis yang mengurungnya. Bukti gagasannya mengembara kemana-mana adalah keragaman topik-topik tulisannya yang pernah dipersembahkannya pada kita. Ia pernah menulis buku ilmiah, Dialektika Psikologi dan Pandangan Islam. Ia menulis makalah yang sangat bagus yang merupakan upaya rekonstruksinya atas pengalaman psikotiknya, yang dituangkannya dalam judul Terapi Identifikasi: Pendekatan Holistik Menangani Penderita Psikotik (dimuat dalam Jurnal Psikologi Islami, edisi 3/Juni 2006).

Ia juga menulis puisi-puisi yang dituangkannya dalam dua kumpulan puisi, yaitu Saatnya “Aku” Tak Lagi Ada dan Cinta di Atas Cinta. Kumpulan puisi yang terakhir ini, yakni Cinta di Atas Cinta, juga diterbitkan oleh Penerbit Fahima. Lebih jauh lagi, kumpulan puisi Cinta di Atas Cinta tersebut telah diteliti dan diangkat menjadi skripsi oleh salah seorang mahasiswa FKIP UNRI Pekanbaru. Tak tanggung-tanggung, mahasiswa yang meneliti karya tersebut bertolak dari sudut pandang Strukturalisme Genetika, suatu perspektif teoritik sastra yang menerabas habis-habisan sebuah karya sastra puisi, baik dari sudut pandang persajakan, tema, amanat, dan pesan. Dalam waktu dekat, insya Allah, mahasiswa itu akan menjalani ujian skripsi yang mungkin akan menyenangkan atau justru menyulitkannya.

Selain itu, ia juga menulis buku tentang sesuatu yang bijak dan jenaka, Datuk Hitam, yang akan kita bahas dalam kesempatan ini. Seakan tidak kehabisan energi, ia baru saja menyelesaikan trilogi memoar: Gilakah Aku? Di dalamnya ada tiga buku, yaitu Aku Sadar Aku Gila, Aku Tahu Aku Gila, Aku Bersyukur Aku Gila. Ketiganya dalam bentuk novel.

Saya sebut mutiara yang kesepian karena ia masih bergelut dengan upaya penyembuhan psikotiknya dan berbagai efek samping dari terapi obatnya. Ia pernah menceritakan pengalamannya melalui sms bahwa kehidupannya dibelah jadi dua. Bila menjelang malam, ia harus minum obat dan bertemu dengan berbagai mimpi yang buruk yang mengisi jam-jam tidurnya. Sehari-hari ia ingin memperpanjang malamnya tanpa minum obat, tapi itu tidak mungkin karena program penyembuhan mengharuskan demikian. Di jam-jam yang lain ia dapat hidup cukup normal tapi tetap belum bisa disebut layak karena efek samping obat juga membatasi aktivitas psikomotoriknya.

Kesibukannya sebagai dosen (tidak tetap) di UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru juga ia hentikan, karena khawatir tidak tampil optimal. Tentu saja ia sangat ingin hadir di tengah-tengah kita dalam bedah buku ini, namun ia adalah seorang anak yang birrul walidain (insya Allah). Walaupun sangat ingin terbang dari Pekanbaru ke Yogya, namun karena orangtuanya berkata tidak, maka ayah satu anak ini akhirnya memilih tidak jadi ke Yogyakarta. Melalui forum ini, saya ingin mengajak kepada hadirin untuk berdoa bagi kesembuhan Bahril.

Mengenal Datuk Hitam
Datuk Hitam, nama yang digunakan sebagai judul buku ini adalah nama panggilan kerabat kakak ipar Bahril Hidayat. Sebagaimana namanya, yang bersangkutan suka dengan tampilan yang berwarna hitam, terutama bajunya. Dan, yang pasti kulitnya sangat hitam untuk ukuran seorang keturunan Melayu. Demikian cerita Bahril secara lisan. Kepribadiannya yang jenakalah yang menjadikan Bahril Hidayat terinspirasi untuk mengangkatnya menjadi seorang tokoh buku yang ditulisnya.

Sekalipun tokoh dalam buku ini mengambil nama Datuk Hitam, tapi kepribadian Bahrillah yang menurut saya tampak menonjol dari tokoh yang bernama Datuk Hitam ini. Tokoh Datuk Hitam adalah tokoh yang berkarakter cerdas, jenaka dan agak nakal, penuh semangat, dan semuanya diarahkan dalam kerangka menjalankan tugas sebagai manusia yang harus berbuat baik.

Tidak sulit untuk menyebut Bahril adalah orang yang cerdas. Saya telah mengenalnya sejak mahasiswa, saat saya membimbingnya untuk membuat karya tulis. Tampak sekali kemampuannya belajar. Karya tulis yang ditulis bersama orang lain—tapi jelas dia kreatornya—akhirnya diteruskan oleh temannya menjadi skripsi. Si sahabat itu—yang lebih menarik dalam menyampaikan—berhasil mendapat nilai A untuk skripsi tersebut.

Selain itu, Bahril sendiri menulis skripsi saat psikotiknya lagi ganas-ganasnya. Sekali-kali saja kami bertemu lewat darat di Yogyakarta dan sebagian besar skripsi dibicarakan via telepon dan email. Hasilnya, saat ujian ia harus minum banyak pil sambil ditunggui kedua orangtuanya. Dan, akhirnya ia memperoleh A/B, saat ia menduga akan memperoleh nilai C. Tidak kurang dari itu, saat ringkasan skripsinya itu diikutsertakan dalam pemilihan Prof. Suwarsih Warnaen Award, karyanya itu termasuk tiga besar dan berhak dimuat di Jurnal Psikologi Sosial Universitas Indonesia Jakarta, sebuah jurnal yang disegani di khazanah psikologi Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana Datuk Hitam, Bahril adalah orang yang jenaka. Kalau dalam tulisan ini banyak Ha ha ha, itulah gambaran keseharian Bahril. Dan, yang tak kalah menarik, dia adalah seorang laki-laki yang kuat, yang tak mudah putus asa. Menjadi pesakitan psikotik pasti tidak nyaman, tapi ia tetap memiliki harapan untuk sembuh. Ia kuat menjalani hari-hari yang membosankan dengan mengkonsumsi obat psikiatri.

Ia pernah berkata kepada saya bahwa cobaan yang ia lalui melalui terapi obat itu akan berakhir pada tahun 2008. Di sisi lain dia berharap bahwa keputusannya untuk membeberkan penyakitnya kepada publik adalah demi kepentingan ilmu pengetahuan. Ia berharap stigma negatif yang menempel pada penderita psikotik—dan gangguan jiwa lainnya—dapat dipahami dengan bijak berdasarkan ilmu pengetahuan dan spiritualisme. Tak ubahnya seorang penderita penyakit jantung yang menderita akibat perilaku dan pola hidup yang tidak sehat, misal perokok, malas berolahraga, mengkonsumsi lemak berlebihan, dll, maka demikian juga penderita psikotik—karena cara berpikir dan pola hidup yang salah, penyalahgunaan napza, dll. Oleh karena itu, ada baiknya kita merenungkan dalam-dalam apabila ingin menertawakan dan mencampakkan (karena stigma negatif) penderita psikotik, karena analogi tersebut menyimpulkan bahwa menertawakan penderita psikotik sama saja dengan mengejek penderita penyakit jantung. Atau, bisakah Anda bayangkan perasaan penderita suatu penyakit atau keluarganya—yang sedang diuji dengan musibah—apabila stigma tersebut tidak dilepaskan?


Mengenal Buku Datuk Hitam

Cover. Buku kecil yang kovernya inspiratif. Itulah kesan saya saat pertama kali melihat sampul depan buku yang bertajuk lengkap Datuk Hitam: Kisah Jenaka Penuh Hikmah. Gambar rokok yang asapnya terbang melayang menyimbolkan inspirasi. Dalam buku ini, sebagaimana juga ditulis di sampul belakang buku ini, Datuk Hitam digambarkan sebagai seseorang yang suka merokok. Sedemikian beratnya kelas perilaku merokok Datuk Hitam, hingga suatu saat ia dinyatakan menderita penyakit paru-paru sebelah kiri. Dan, ia tetap akan merokok dengan paru-paru kanannya! (Paru-paru Kanan, hal. 114).

Di bagian lain tulisan ini, juga diceritakan kesukaan Datuk Hitam terhadap rokok. Setelah memperoleh hadiah mobil dari Baginda Raja, ia meminta istrinya untuk menyisakan uang guna membeli berbagai keperluan mobil seperti bensin, oli, dan sebagainya. Istrinya berkomentar: “Amanlah itu, Tuk. Kalau soal itu beres. Tinggal memotong jatah rokok Tuk.” (Mobil Baru, hal. 136).

Rokok merupakan gambaran inspirasi sering diungkapkan oleh para perokok. Kata mereka, saat melihat asap rokok yang terbang bulat, hamparan ide seakan terbentang di hadapan mereka. Menurut ahli psikologi, sebenarnya bukan rokok yang menjadikan seseorang memperoleh banyak inspirasi, tapi beristirahat dari berpikirlah yang memudahkan seseorang memperoleh ide-ide baru.

Diceritakan oleh ahli psikologi, salah satunya adalah Utami Munandar, bahwa saat manusia berpikir dan merasa mentok, maka sebaiknya ia berhenti berpikir. Saat berhenti berpikir, seseorang biasanya mencari aktivitas refreshing yang mudah, ringan (seperti merokok, berkebun, mencuci baju, bermain game di computer, dan sebagainya). Saat otak beristirahat berpikir, ada kesempatan bagi otak untuk mengorganisasikan informasi yang tadinya ruwet bak benang kusut. Situasi ini disebut fase inkubasi/istirahat. Bila istirahat cukup—dan apalagi kalau seseorang banyak beribadah kepada Allah sebagaimana diterangkan ahli-ahli psikologi Islami, maka seseorang akan mudah memperoleh enlightenment atau pencerahan.

Isi buku.
Buku ini dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sebelas cerita tentang Datuk Hitam dan 193 aphorisme yang berisi kata-kata yang berkaitan dengan multiple intelligence. Berkaitan dengan isi buku ini, ada beberapa catatan yang dapat saya sampaikan.

Catatan pertama
, Datuk Hitam adalah adalah orang yang banyak akal. Ia melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak konvensional. Ia adalah orang yang cerdik atau kreatif. Boleh dibilang tipikal utama Datuk Hitam adalah kecerdikannya. Dalam buku ini, banyak kecerdikan yang ditunjukkan oleh Datuk Hitam. Agar istrinya (yang baru dinikahinya) mau “tidur“ bersamanya, ia mereka-reka cerita seakan-akan arwah ayahanda sang istri hadir dan mengizinkan untuk melakukan hubungan suami istri. “Kata arwah ayah, engkau buatlah segelas susu. Lalu katakan kepada susu itu, pasti dia mau, pasti dia mau, pasti dia mau.” (Datuk Hitam Menikah, hal. 24). Dalam cerita “Alat Deteksi Kebohongan” Datuk Hitam memperoleh perintah dari Baginda Raja untuk mengecek seberapa besar jumlah pejabat yang melakukan korupsi. Ternyata di antara 3000 orang yang dideteksi, terdapat 2993 orang yang diduga suka melakukan penipuan/kebohongan dan hanya tujuh yang tidak. Dengan cara apa? Ternyata cukup dengan lem, spidol, seng, dan sejumlah peralatan sederhana lainnya, plus cap kerajaan. “Saya menulis bahwa dalam alat itu terdapat sebuah chip (yang sesungguhnya hanya seng, pembahas) yang berfungsi mendeteksi kebohongan seseorang. Alat itu lebih canggih daripada Lie Detector (deteksi kebohongan yang digunakan oleh polisi). Bahkan hamba mengatakan bahwa alat itu terhubung dengan satelit sehingga alat itu tidak mungkin ditukar karena selalu terpantau oleh tim penyelidikan kasus ini.”

Catatan kedua
, Datuk Hitam adalah seseorang yang memperoleh semangat dakwah. Semangat dakwah dapat kita tangkap dari pernyataannya konteks kisah Datuk Hitam adalah kehidupan masa kini. “Aku sudah berdakwah untuk diri sendiri. Sekarang waktunya untuk orang lain.” (Datuk Hitam Senget, hal. 65).

Catatan ketiga,
dakwah yang dilakukan Datuk Hitam adalah dengan mau’dihatul hasanah. Ia menggunakan kata-kata yang tidak langsung tapi mengenai sasaran. Dakwah metode ini digunakan karena ia berhadapan dengan sang raja yang tentu sulit untuk dinasihati layaknya orang yang secara sosial sederajat. Dalam cerita Datuk Hitam Senget, ia ingin memberi pesan kepada raja betapa kecilnya istana Negeri Segantang Harapan saat dilihat dari udara. “Baiklah Baginda. Menurut hamba, makna mimpi itu adalah teguran kepada hamba. Pertama, janganlah hidup dalam kesombongan karena hamba akan mati.” Sebenarnya Datuk Hitam ingin mendakwahi Baginda Raja agar tidak sombong.

Catatan keempat,
dakwah yang dilakukan oleh Datuk Hitam adalah bil-hal, dengan perilaku nyata. Dalam cerita Jembatan Manusia ia ingin memberi pesan kepada Baginda Raja bahwa dalam membuat fasilitas jangan hanya menguntungkan orang-orang yang kaya, tapi harus benar-benar memperhatikan orang-orang yang tak punya. Secara dramatis ia mengumpulkan ratusan ribu orang untuk mengangkat papan kayu yang akan dilewati mobil-mobil menuju Negeri Pusat Industri. Segantang Harapan kira-kira adalah Riau, sementara Negeri Pusat Industri adalah Singapura, kira-kira itulah yang dipikirkan Bahril walau tidak ditulis dalam buku ini.

Catatan kelima
adalah konteks cerita yang digunakan adalah latar belakang Melayu dan kehidupan masa kini. Dalam berbagai cerita, kita akan membaca nama alat-alat atau benda-benda modern seperti mobil, helm, laptop, Albert Einstein, dan berita Koran.

Catatan keenam
, banyak teori psikologi yang dibahas dalam buku ini. Salah satunya adalah otak kiri dan kanan. Otak kiri berciri logis, rasional dan egosentrisme. Otak kanan berkaitan dengan imajinasi, kepekaan sosial, dan kasih sayang. Secara psikologis, apa yang disampaikan Bahril adalah pengajaran psikologi. Ia ikut membantu pemasyarakatan psikologi.

Catatan ketujuh,
Datuk Hitam adalah seseorang yang sangat intuitif. Kisah ini mirip dengan kisah Si Belalang, anak cerdas dari seorang ayah yang pemalas dan tukang tidur, dikenal dengan nama Pak Belalang. Seseorang yang hendak dihukum, tapi karena selalu bertindak atau merespon dengan tepat, padahal bukan karena kepandaian otaknya, tapi karena daya intuisinya yang luar biasa. Betapa intuitifnya Datuk Hitam, silakan baca dalam cerita Datuk Hitam dan Filosof Tasawuf.

Catatan kedelapan
adalah keterkaitan buku ini dengan tokoh lain yang sudah lebih popular, yaitu Abu Nawwas. Yang pasti Bahril mengakui bahwa inspirasi buku ini adalah Kisah Abu Nawas. Karakter mereka cukup mirip, namun karena kemelayuannya, sehingga DATUK HITAM tampak lebih santun dibanding Abu Nawas.

Kritik terhadap Buku Ini
Pertama, sebagian tata tulis tidak benar, sehingga perlu diperbaiki. Salah satunya adalah tidak adanya tanda koma (,) antara pernyataan seorang tokoh dengan penjelasan di belakangnya. Misalnya: “Tenang sajalah” jawab Tuk Hitam sekenanya. Mestinya: “Tenang sajalah,” jawab Tuk Hitam sekenanya.

Kedua,
aphorisme yang ada dalam buku ini tidak begitu relevan. Ini mungkin disengaja oleh Bahril dengan alasan agar buku lebih tebal atau aphorisme tersebut tidak mungkin dijadikan buku tersendiri, tapi menurut saya ini bisa dibuat dalam buku tersendiri. Misalnya berjudul Inspiring Words for Multiple Intelligence yang tentu perlu dilengkapi dengan ilustrasi yang relevan.

Penutup
Moga buku ini laris dan semoga muncul buku-buku jenaka nan penuh hikmah lainnya, termasuk bila diperlukan Datuk Hitam Kedua. Moga bermanfaat bagi semua pembaca.

H. Fuad Nashori, Psikolog, adalah dekan/dosen Fakultas Psikologi
dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta








Tidak ada komentar:


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.