Psikologi

Sang Guru


Rabu pagi pukul 07.00 WIB tanggal 30 April 2008, Mas Habib tiba di kos saya untuk menjemput dan mengantarkan saya ke salah satu Rumah Sakit di Magelang. Sebelumnya, salah seorang teman berkunjung ke kos sejak pukul 05.30 WIB dan dia pulang bersamaan saat saya berangkat dengan Mas Habib. Dalam hati saya agak cemas karena dua hal. Pertama, saya belum sempat menyiapkan bahan ceramah karena rencananya setelah shalat subuh saya persiapkan, tetapi terhalang karena silaturahmi teman saya itu. Kedua, saya belum menyusun laporan Tugas IQ yang harus dikumpulkan pada siang harinya.


Dalam perjalanan, senda gurau dengan Chantas, Puan, dan Mas Habib mengurangi rasa cemas saya. Setiap melihat Puan, saya teringat Layla, anak perempuan saya yang berada di Pekanbaru, Riau. Kerinduan saya pada Layla terobati dengan menatap wajah Puan yang polos. Keusilan Chantas mengakibatkan gelak tawa saya dan Mas Habib bersusulan. Tak terasa, perjalanan yang ditempuh selama 1 jam lebih itu sudah kami lewati.


Di Rumah Sakit Jiwa Magelang, sambutan teman-teman Angkatan III Magister Profesi Psikologi UII bidang Klinis, Jogja, sangat menyenangkan. Mereka adalah calon-calon psikolog yang memiliki integritas dan kepedulian yang tinggi terhadap profesinya. Mereka tidak menyerah mengajak dan mengingatkan saya agar hadir memberikan ceramah di sana karena minggu sebelumnya saya tidak bisa hadir karena perkuliahan. Mereka tidak menyerah untuk mengundang saya berkunjung dan berdiskusi di sana selama tugas praktik kuliah itu berjalan. Mereka adalah Mbak Nina, Vivi, dan teman-teman lain yang berwajah ceria menjalankan tugas praktik dari kampus sebagai bagian dari pendidikan keprofesian mereka.


Hari menunjukkan pukul 08.30 WIB. Sudah saatnya untuk memasuki aula di Rumah Sakit itu dan memberikan ceramah yang bertemakan Berbagi Pengalaman tentang Penyakit Skizofrenik. Saya duduk di hadapan ratusan peserta. Pak Mali, psikolog di Rumah Sakit itu membuka acara dengan doa dan pengantar untuk memperkenalkan saya kepada perawat, psikolog, dan ratusan penderita psikotik yang hadir sebagai peserta. Lalu giliran saya tiba untuk menyampaikan ceramah.


Ada beberapa bagian penting yang saya sampaikan kepada penderita. Pertama adalah tentang bagaimana proses penyakit dan kesembuhan yang saya alami berjalan secara kronologis dan aktualitatif. Saya menceritakan tentang gejala delusi siar pikir (delusi referensi; merasa televisi menceritakan penderita psikotik) yang saya alami ketika berumur 8 tahun, lalu secara bertahap penyakit skizofrenik itu menggerogoti saya dan akhirnya kehilangan kesadaran pada usia 23 tahun untuk sebelas bulan lamanya. Saya melanjutkan cerita tentang metode pengobatan yang pernah diterapkan.


Ada 2 hal yang saya sampaikan berkaitan tentang metode pengobatan tersebut, yaitu pendekatan psikofarmakologis dan psikospiritual. Untuk pendekatan psikofarmakologis, saya menekankan kepada penderita agar mematuhi instruksi dokter, psikolog, dan perawat di Rumah Sakit, sedangkan pendekatan psikospiritual saya menyampaikan 4 metode yang pernah saya terapkan, yaitu shalat, dzikir, muhasabah (introspeksi), dan menumbuhkan kasih sayang pada keluarga dan lingkungan. Selain itu, saya meminta bantuan kepada pihak rumah sakit untuk mengawasi penderita yang ingin melakukan metode-metode tersebut, khususnya muhasabah agar tidak terjadi intensionalitas (introspeksi yang berlebihan) karena hal itu justru tidak baik pada penderita depresi.


Ceramah yang berlangsung selama lebih kurang 30 menit pun berakhir. Awalnya saya mengira para penderita yang baru saja makan obat (pada pukul 8.00 WIB) tidak akan merespon ceramah saya dengan antusias karena mengantuk. Justru sebaliknya, mereka berebut untuk bertanya dan sangat tertib mengangkat tangannya. Melihat hal itu, saya merasa sangat beruntung dan bermanfaat hadir di sana. Subhanallah wabihamdihi.


Ada yang bertanya tentang penyakit apa yang saya alami, berbagi tentang penyakitnya, ada yang sekadar mengeluh bahwa dia jenuh makan obat, merintih karena merasa yakin dia diguna-gunai (disantet) oleh orang lain, ada yang bertanya apakah saya sudah menikah, merasa menyesal dan bersalah karena tidak mampu menguasai (halusinasi) umpatan-umpatannya kepada Gusti Allah, bagaimana agar bisa sembuh, tingkat pendidikan saya, pekerjaan saya saat ini, dan lain-lain. Sejenak, pertanyaan itu membuat saya lupa tentang apa pun dalam pikiran ini kecuali menyusun jawaban untuk mereka. Kemudian, saya berusaha memberikan jawaban dengan bahasa yang sangat sederhana. Sesekali saya terdiam untuk memilih kosa kata yang tepat dan mudah dipahami. Kadang saya menoleh ke belakang untuk bertanya kepada psikolog dan teman-teman Magister Psikologi UII tentang kosa kata yang tepat agar memberikan jawaban yang bisa dipahami penderita.


Satu persatu saya berikan jawaban, mulai dari bagaimana mengatasi rasa takut dan masalah-masalah psikologis dengan berwudhu’, dzikir, istighfar, shalat, membaca Quran berikut artinya, beraktivitas positif, memelihara kebersihan diri, mematuhi perintah dokter, psikolog dan perawat, aktif membersihkan lingkungan, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada keluarga, dan bersabar terhadap efek samping obat antipsikotik yang membuat tubuh merasa tidak nyaman untuk mencapai kesembuhan. Alhamdulillah, setelah saya berikan jawaban demi jawaban, masih saja ada rentetan pertanyaan yang menunjukkan keinginan besar dari mereka untuk sembuh. Herannya saya tidak merasakan lelah untuk mendengarkan pertanyaan dan keluh kesah mereka dengan mendekatkan tubuh, merunduk, dan menanyakan nama mereka sebelum menjawab pertanyaan agar mereka tahu bahwa mereka didengarkan.


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.40 WIB. Dengan terpaksa saya harus mengakhiri pertemuan. Sungguh, dalam hati saya masih ingin berbagi di sana. Tapi, laporan tugas IQ yang menjadi kewajiban saya sebagai mahasiswa S2 bidang psikologi Klinis masih menunggu untuk diselesaikan pada hari itu juga. Akhirnya, perlu direnungkan beberapa hal dari pengalaman tersebut. Alangkah naifnya apabila kita tidak bersyukur atas nikmat kesehatan mental yang Allah berikan dengan cara memanusiakan diri kita sendiri dan penderita psikotik secara tulus. Tentu saja memanusiakan diri sendiri dan penderita psikotik merupakan ciri-ciri orang yang bersyukur agar kita tidak termasuk ke dalam hadis Nabi saw, ”Tidak dipandang bersyukur kepada Allah apabila seseorang tidak berterima kasih kepada manusia lainnya (orang lain).”


Terima kasih kepada seluruh pihak Rumah Sakit Magelang bagian Kejiwaan dan teman-teman Angkatan III Magister Psikologi UII Jogja yang mengundang saya pada hari itu. Mereka membantu saya untuk bisa mengaktualisasikan ilmu saya dan mendapatkan ilmu-ilmu baru dari pertemuan itu. Khususnya, terima kasih saya yang setulus-tulusnya kepada penderita psikotik karena kalian adalah guru bagi saya.


Seperti ucapan dari salah seorang laki-laki peserta ceramah di paruh usia 30-an yang menderita psikotik (terlihat sangat parah dengan ciri-ciri delusional, halusinatif, hipersaliva/air liur yang banyak karena efek samping obat antipsikotik dosis tinggi; inkoheren; irasional) kepada saya saat menuju pintu keluar aula, dia menyalami saya dan berkata dengan artikulasi yang tidak jelas, ”Belajar ya!” Sungguh, ucapan manis dari seorang penderita psikotik di bawah pengaruh obat dosis tinggi itu terdengar sebagai nasihat dan keinginan dari lubuk hatinya. Bagi seorang penderita psikotik berat dengan suara yang terpatah-patah, tubuh yang kaku, mata yang merah dan berair karena kurang tidur, dan tumpukan konflik psikologis yang tengah menguasainya, rasanya tidak mungkin mengucapkan sebaris kalimat itu jika bukan dari dalam lubuk hatinya.


Entah kenapa, pijar matanya saat itu memberikan makna berterima kasih yang mendalam, keinginannya agar saya berhasil dalam hidup ini, dan harapannya untuk bisa bertemu kembali. Bukan nanar mata yang memberi makna bahwa ia seorang penderita psikotik yang larut dalam permasalahan psikologisnya atau efek samping dari obat antipsikotik dosis tinggi. Hampir saja saya menangis karena hal itu. an, emosi saya alihkan dengan mengurai senyum dan mengangkat jempol tangan kanan saya untuknya. Saya lanjutkan bersalaman dengan peserta lain yang hadir pada hari itu. Mbak Nina justru mengingatkan saya kembali ucapan penderita itu menjelang kami sampai di pintu keluar, "Cok, dia bilang belajar ya."


Saya hanya mengiyakan ucapan Mbak Nina untuk menyembunyikan perasaan saya yang sebenarnya. Sering saya berpikir agar ilmuwan psikologi sebaiknya mengkaji ulang teori yang tidak membolehkan psikolog bersimpati kepada kliennya. Perlu direnungkan perilaku Rasulullah saw. yang sering dijumpai menangis terisak-isak (bahkan air matanya membanjiri janggut beliau) dan bermohon kepada Allah swt. apabila beliau gelisah, peduli, dan bersimpati kepada keluarga dan umatnya. Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil 'aliyyil 'adhim.


Maka Ya Allah Ya Rabbana, lapangkanlah jalan kesembuhan untuk mereka. Ya Allah, berikanlah kesembuhan kepada mereka lebih baik daripada kesembuhan yang Engkau berikan kepadaku. Sesungguhnya Engkaulah Tuhan Yang Maha Mengabulkan permohonan kami. Amin Ya Fattah, Ya Wadudu Dzul Jalali wal Ikram.


Bahril Hidayat
Yogyakarta, 1 Mei 2008




2 komentar:

Anonim mengatakan...

Aminnnnnnn Yaa Mujiib..

Anonim mengatakan...

Aminnnnn Yaa Mujiib...


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.