Esai Filsafat Menulis (2008)

MAHASISWA DAN MENULIS



Sedikitnya terdapat lima unsur yang membentuk sebuah pohon, yaitu akar, batang, ranting, daun, dan buah. Akar berfungsi sebagai komponen utama untuk menyerap serta mendistribusikan air dan sari makanan yang berasal dari tanah. Batang adalah unsur yang memberikan bentuk dan memperkukuh keberadaan pohon itu. Ranting merupakan cabang dari batang yang berfungsi sebagai unsur penghubung batang dan daun. Daun adalah bagian dari tanaman yang berfungsi untuk bernafas dan mengolah zat makanan—dengan butir hijau daunnya—dalam proses asimilasi. Buah adalah hasil yang dapat dipetik dari sebuah pohon setelah pohon itu menjalani proses botanis oleh empat unsur lainnya. Kemudian, kesatuan lima unsur tersebut disebut pohon.


Koordinasi lima unsur tersebut memiliki dua tujuan yang berasal dari pembelahan orientasi-komunitas sebuah pohon, yaitu bagi pohon itu sendiri (orientasi-internal) dan bagi lingkungannya (orientasi-eksternal). Bagi sebuah pohon, orientasi-internal koordinasi lima unsur di atas—proses penyerapan hingga pengolahan sari makanan—merupakan upaya preservasi atau untuk mempertahankan hidupnya melalui suatu mekanisme biologis yang relatif serupa dengan jenis tanaman dikotil lainnya. Sementara itu, orientasi-eksternal sebuah pohon adalah mempertahankan kelangsungan rantai makanan makhluk hidup yang menjadi konsumen dari buahnya, seperti burung, kelelawar, ataupun manusia. Jadi, kedua orientasi tujuan pohon tersebut yang mengukuhkan eksistensinya dalam habitatnya.


Berangkat dari deskripsi di atas, eksistensi mahasiswa—dalam paradigma falsafah—dapat dianalogikan sebagai sebuah pohon. Akar merupakan analogi terhadap tujuan yang berisikan tugas utama setiap mahasiswa, yaitu menjalani proses belajar dalam suatu bentuk penyerapan informasi ilmu untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat, batang merupakan analogi terhadap usaha-usaha konkret mahasiswa dalam segala bentuk aktivitasnya, ranting adalah analogi terhadap kepentingan penguasaan mekanisme pengolahan aktivitas, daun adalah analogi terhadap mekanisme aktivitas mahasiswa, dan buah merupakan analogi terhadap proses aktivitas mahasiswa yang menghasilkan suatu karya tertentu untuk digunakan oleh masyarakat. Ringkasnya adalah setiap mahasiswa harus melewati proses belajar tertentu agar mampu menjadi seorang pengajar—mengajarkan—suatu ilmu kepada masyarakat. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan lima level analogi-filosofis antara lima unsur pohon terhadap eksistensi mahasiswa.


Pertama, akar merupakan analogi terhadap penyerapan dan pendistribusian keilmuan. Mahasiswa memegang tugas penting untuk menjalani proses belajar tentang prinsip-prinsip keilmuan (orientasi-internal) yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat (orientasi-eksternal). Penyerapan dan pendistribusian ilmu merupakan dua proses yang sangat mendasar bagi setiap mahasiswa, karena peningkatan sumber daya manusia sudah semestinya hanya dapat terwujud melalui usaha menyeimbangkan dua orientasi-komunitas mahasiswa tersebut. Perihal bagaimana usaha itu dilaksanakan, merupakan realisasi dari level-level selanjutnya.


Kedua, batang adalah analogi terhadap usaha-usaha konkret dalam bentuk aktivitas-aktivitas tertentu. Eksistensi mahasiswa sangat ditentukan oleh keberadaan aktivitas mereka. Dalam segala aktivitas mahasiswa yang bertujuan untuk belajar dan mendistribusikan konsep-konsep keilmuan kepada masyarakat, maka mahasiswa harus mengaplikasikan tujuan itu berdasarkan falsafah orientasi-komunitas pohon. Orientasi-internal mahasiswa adalah aktivitas yang berinteraksi dengan dunia keilmuan, seperti mengikuti perkuliahan, diskusi, membaca, dan menulis. Kegiatan tersebut adalah untuk mengembangkan kemampuan keilmuan mahasiswa secara berkesinambungan yang akan membentuk kapasitas keilmuan yang permanen dan konsepsional, khususnya dalam lingkungan ilmiah mereka, yaitu universitas. Lebih dari itu, usaha-usaha preservasi orientasi-internal mahasiswa adalah untuk merealisasikan tujuan orientasi-eksternalnya, yaitu suatu proses pendistribusian ilmu kepada masyarakat sebagai konsumen ilmu, seperti memberikan penyuluhan-penyuluhan, seminar, dan menulis. Singkat kata, orientasi-internal mahasiswa adalah usaha-usaha preservasi konsep-konsep keilmuannya sehingga membentuk kapasitas yang permanen agar mereka dapat bertahan hidup dalam komunitas ilmuwan, sedangkan orientasi-eksternal mahasiswa adalah mengaplikasikan konsep-konsep keilmuannya kepada masyarakat dalam bentuk aktivitas-aktivitas yang dapat menstimulasi peningkatan sumber daya manusia.


Ketiga, ranting merupakan analogi terhadap kepentingan penguasaan mekanisme pengolahan aktivitas. Fungsi ranting adalah mediator (penghubung) batang dan daun. Analogi ranting terhadap mahasiswa adalah adanya kepentingan bagi mahasiswa untuk menguasai konsep-konsep mekanisme pengolahan aktivitasnya. Tujuannya adalah agar terjalin relevansi antara aktivitas mahasiswa dan mekanisme pengolahan aktivitas—bagian keempat—sehingga aktivitas itu dapat berjalan secara terkendali, baku, dan maksimal.


Keempat, daun merupakan analogi terhadap mekanisme pengolahan aktivitas mahasiswa. Tugas daun adalah untuk bernapas dan mengolah sari-sari makanan dengan tata cara botanis jenis tumbuhan dikotil yang spesifik, yaitu melalui proses asimilasi. Tugas itu merupakan falsafah terhadap tugas mahasiswa untuk mengolah kapasitas keilmuannya—menjadi aktivitas yang riil—dengan mengikuti standardisasi mekanisme yang telah ditentukan. Istilah standardisasi mekanisme ini bermakna bahwa pengolahan segala bentuk aktivitas mahasiswa harus menggunakan tata cara yang terstandar. Hal itu bertujuan untuk mencapai universalitas hasil (buah) dari aktivitas mahasiswa sehingga dapat diakui dan dimanfaatkan oleh seluruh kelompok masyarakat. Jadi, beraktivitas dengan berdasarkan pada standar mekanisme yang telah ditetapkan adalah bertujuan untuk menghasilkan suatu karya (buah) yang mampu ”bernapas” di seluruh belahan bumi ini.


Kelima, buah merupakan analogi terhadap kemampuan untuk menghasilkan suatu karya yang dapat digunakan masyarakat dari berbagai aktivitas-aktivitas mahasiswa. Setelah proses analogi-filosofis terdahulu, setiap mahasiwa harus mampu menghasilkan suatu karya tertentu layaknya sebuah pohon yang mampu menghasilkan buah. Sebuah pohon—hampir dapat dikatakan—tidak akan bermanfaat apabila tidak mampu berbuah, jika dilihat dari sisi peran pohon itu sebagai produsen yang menghasilkan makanan (buah) bagi konsumennya. Kondisi itu juga berlaku pada mahasiswa. Seorang mahasiswa tidak bisa dikatakan sebagai salah satu produsen ilmu bagi masyarakat kecuali ia mampu berkarya. Indikator dari eksistensi mahasiswa adalah aktivitas-aktivitas yang menghasilkan karya tertentu untuk meningkatkan sumber daya manusia.


Dalam pada itu, aktivitas yang dianggap paling tepat untuk dilaksanakan mahasiswa adalah menulis, karena menulis merupakan aktivitas yang memiliki keunggulan untuk menyampaikan suatu tema atau permasalahan tertentu secara komunikatif—antara penulis dan pembaca dapat berkomunikasi melalui tema dari sebuah tulisan. Suatu tema yang diangkat oleh seorang penulis dikarenakan minatnya pada tema tersebut, sedangkan pembaca memutuskan untuk membaca sebuah tulisan juga disebabkan oleh minatnya pada tema yang diangkat oleh si penulis. Berdasarkan kesamaan minat itu maka pembaca dan penulis dapat berkomunikasi, kendati mereka tidak bertatap muka.


Di sisi lain, keunggulan menulis adalah karena implikasinya terhadap dua orientasi-komunitas mahasiswa. Implikasi menulis dalam orientasi-internal mahasiswa adalah kewajiban atau beban akademis setiap mahasiswa untuk menulis skripsi pada jenjang S1, menulis tesis pada jenjang S2, dan menulis disertasi pada jenjang S3. Seorang mahasiswa tidak bisa meraih gelar akademis dalam tiga jenjang strata tersebut tanpa mampu menulis. Dengan kata lain, seorang mahasiswa tidak bisa mendapatkan legitimasi publik sebagai seorang yang kompeten dalam disiplin ilmu tertentu, jika ia belum berhasil merumuskan beban akademis untuk menulis skripsi, tesis, dan disertasi.


Sementara itu implikasi menulis dalam paradigma orientasi-eksternal mahasiswa adalah kewajiban mereka untuk mendistribusikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat dalam kemasan yang populer, praktis, ekonomis, serta memiliki daya jangkau komunikasi yang ekstensif—baik keluasan pembahasannya, maupun keluasan wilayah pemasarannya. Hal itu terbukti pada media yang dapat digunakan untuk mempublikasikan sebuah tulisan, seperti koran, majalah, tabloid, atau menulis sebuah buku.


Dengan menggiatkan tradisi menulis yang berimplikasi pada penyebaran bahan-bahan bacaan di masyarakat secara eksesif, maka masyarakat akan terbiasa dengan lingkungan informasi dalam bentuk teks. Kondisi stimulatif tersebut dapat menggugah minat membaca masyarakat karena mereka akan terkondisikan—yang akhirnya tersugesti untuk membiasakan diri—dengan suasana informasi yang menuntut mereka untuk mampu menganalisis tulisan. Indikasinya adalah masyarakat dapat berpikir kritis dan kreatif terhadap kehidupannya berdasarkan informasi yang mereka peroleh dari perilaku membaca. Oleh karena itu, menulis dianggap representatif terhadap aktivitas-aktivitas mahasiswa yang lain dalam perspektif tujuan orientasi-komunitas mereka.


Sejalan dengan itu, bagaimana dan mengapa aktivitas menulis itu dilaksanakan maka harus mengacu pada lima level analogi-filosofis pada bagian terdahulu. Level pertama adalah landasan beraktivitas bagi setiap mahasiswa dalam koridor yang bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia, melalui serangkaian proses belajar yang intensif untuk mengolah aktivitas menulis, disebut dengan level referensi-operasional. Level kedua, yaitu refleksi dari proses mengajar yang dilakukan oleh mahasiswa yang terkandung dalam tulisannya, disebut dengan level aktualisasi.


Level referensi-operasional, yaitu gabungan analogi-filosofis pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Bertolak dari hal itu, mahasiswa adalah komponen dari produsen ilmu yang bertugas untuk meningkatkan sumber daya manusia dengan mempelajari mekanisme menulis yang benar. Untuk itu, setiap mahasiswa memerlukan usaha-usaha konkret dan berkesinambungan, mulai dari kesadaran tentang pentingnya untuk menguasai mekanisme menulis hingga melaksanakan mekanisme menulis itu sendiri. Mahasiswa harus belajar tentang cara-cara menulis sehingga mereka tidak menemukan kesulitan ketika hendak mengolah pikiran, pendapat, dan ide-ide yang mereka miliki untuk menjadi sebuah tulisan. Tanpa adanya kesadaran perlunya penguasaan mekanisme menulis yang baik, maka seorang mahasiswa tidak akan mampu menulis secara optimal dan komunikatif.


Pada dasarnya, mekanisme menulis terdiri atas tiga standar utama, yaitu standar jenis karangan, standar efektivitas, dan standar bahasa. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dijabarkan tiga standar mekanisme menulis tersebut.

(a) Standar karangan, yaitu menggabungkan klasifikasi karangan menjadi bentuk tulisan.

Secara umum, ada empat jenis karangan, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Sementara itu, berdasarkan kebenaran isi karangan, terbagi atas dua jenis, yaitu karangan fiksi dan non-fiksi. Agar dua klasifikasi karangan di atas dapat menjadi sebuah bentuk tulisan, maka kita harus mengkombinasikannya. Misalnya, apabila kita ingin menulis dalam bentuk cerpen (cerita pendek) ataupun cerber (cerita bersambung) berdasarkan imajinasi (daya khayal) dan rekaan, berarti kita menggunakan kombinasi narasi-fiktif, deskripsi-fiktif, eksposisi-fiktif, ataupun argumentasi-fiktif. Sebaliknya, apabila kita ingin menulis bentuk tulisan faktual, seperti esai ilmiah, makalah, ataupun kisah yang berdasarkan pada pengalaman pribadi atau orang lain, umumnya kita menggunakan kombinasi argumentasi dan non-fiksi. Format kombinasi ini merupakan bentuk tulisan yang mampu menyatakan bahwa tema yang disampaikan adalah faktual, dengan memaparkan atau mendeskripsikan masalah, argumen, dan bukti-bukti yang persuasif. Kita berhak untuk memilih salah satu dari beberapa bentuk tulisan di atas berdasarkan kombinasinya, selama tulisan itu mengandung nilai-nilai edukatif ketika diaktualisasikan kepada—atau oleh—pembaca. Kemudian, pilihan untuk menentukan bentuk tulisan itu juga harus disesuaikan dengan memperhatikan cara menulis yang efektif.

(b) Standar efektivitas, yaitu cara menulis yang efektif.

Pada dasarnya, terdapat banyak metode yang ditawarkan oleh ahli tata bahasa tentang bagaimana cara menulis yang efektif. Ringkasan dari berbagai metode menulis yang efektif adalah sebagai berikut:

- membuat kerangka karangan dalam tiga garis besar, yaitu adanya permasalahan, analisis masalah, dan simpulan yang dirangkum dalam rancangan kalimat utama dan kalimat penjelas karangan,

- penulisan paragraf pertama yang atraktif dan impresif sehingga mampu menarik perhatian pembaca,

- menegaskan alur karangan yang sistematis berdasarkan tema tulisan yang biasanya tercermin dalam kalimat utama pada setiap paragraf,

- mengembangkan kalimat-kalimat utama menjadi kalimat-kalimat penjelas secara deskriptif, kategoris, dan persuasif dalam komposisi karangan yang proporsional,

- menggunakan kalimat transisi—sementara itu, dalam pada itu, oleh sebab itu, sejalan dengan itu, bertolak dari hal tersebut, dll—yang menghubungkan setiap kalimat dalam paragraf ataupun antarparagraf sehingga membentuk komposisi karangan yang koheren,

- mengakhiri tulisan dalam bentuk paragraf yang berisikan kumpulan ide-ide atau pesan-pesan tematis yang ingin ditegaskan kembali oleh penulis—perlu ditekankan bahwa paragraf terakhir adalah ringkasan dari ide-ide pokok, pesan-pesan, harapan, dan klimaks dari suatu karangan,

- menentukan judul karangan dengan ringkas, padat, menarik, dan jelas, namun dapat menggambarkan tema dan isi karangan.

(c) Standar bahasa, yaitu penggunaan tata bahasa yang baku.

Penggunaaan tata bahasa yang baku tersimpul pada beberapa aspek, seperti penggunaan tanda baca, penggunaan kata hubung, kata depan, penulisan kata atau istilah, dll. Kebanyakan penulis kontemporer, acapkali melalaikan aspek pragmatis bahasa yang benar, seperti kesalahan penggunaan tanda baca titik dua (:), koma (,), dll. Lebih dari itu, tidak jarang kita menemukan kesalahan penulisan kata depan di, ke, dari, dalam beberapa media ataupun sebuah buku. Penulisan kata depan yang baku—apakah harus dipisahkan atau digabungkan dengan kata yang di depannya—seringkali dianggap sepele bagi banyak penulis. Kelalaian untuk mencetak miring atau mengarisbawahi kosa kata atau istilah asing yang belum dibakukan dalam kaidah bahasa Indonesia adalah kasus umum dalam sebuah tulisan. Padahal, penggunaan tata bahasa yang baku merupakan kewajiban setiap warga negara—termasuk seorang penulis—untuk menghargai dan menggunakan tata bahasa yang baku. Kewajiban itu umumnya lebih diutamakan dalam konteks bahasa tulisan daripada penggunaan bahasa lisan karena indera mata untuk membaca kalimat-kalimat dalam tulisan dapat menangkap fungsi tanda baca itu, namun tidak bagi indera telinga yang hanya sekadar mendengarkan penggunaan bahasa lisan. Oleh karena itu, penggunaan tata bahasa yang baku merupakan syarat utama dalam menulis.


Tiga standar mekanisme menulis di atas—yang tergabung dalam level referensi-operasional menulis—merupakan aspek-aspek utama yang membentuk kesatuan pedoman menulis. Kemudian, mahasiswa berpindah kepada mengapa dan untuk apa mengajarkan suatu tema tertentu dalam tulisannya kepada masyarakat, layaknya hakikat mengajar dalam level aktualisasi.


Level aktualisasi, yaitu analogi-filosofis buah terhadap tugas mengajar mahasiswa melalui tulisan. Mahasiswa harus menjalani proses belajar yang panjang agar mampu mengaktualisasikan kemampuannya. Mulai dari mempelajari ruang lingkup keilmuannya hingga panggilan nurani untuk melaksanakan kewajiban pendistribusian konsep-konsep keilmuan yang telah dipelajarinya. Setelah melakoni proses belajar tersebut, selanjutnya mahasiswa memasuki tahap mengajar yang disebut level aktualisasi.


Level aktualisasi adalah pengaktualisasian kemampuan mahasiswa ke dalam bentuk menulis secara ekstensif, komunikatif, dan produktif dalam segala daya kreasinya. Dengan menulis, mahasiswa dapat menyampaikan dan mengajarkan informasi yang mudah diserap, dipahami, dan diimplementasikan oleh seluruh kelompok masyarakat yang tersebar di berbagai tempat. Oleh karena itu, menulis adalah upaya mahasiswa untuk menciptakan proses komunikasi yang sanggup mengeliminir alasan keterpisahan karena jarak dan tetap dapat berinteraksi dengan masyarakat.


Lebih dari itu proses komunikasi melalui sebuah tulisan merupakan refleksi dari proses mengajar yang dialogis oleh mahasiswa (penulis) kepada masyarakat (pembaca). Proses itu terjadi karena pada saat membaca, pembaca akan berpikir dengan tiga pola analisis, yaitu memahami isi tulisan, mengolah pesan-pesan penulis (isi tulisan), dan menerima atau mengkritik isi tulisan. Pemahaman seorang pembaca tersimpul setelah ia membaca, pengolahan isi tulisan dapat dilakukan setelah ia memahami, sedangkan penerimaan, penolakan atau kritisi adalah reaksi pembaca terhadap isi tulisan setelah ia mengolah pemahamannya itu. Jadi, tiga pola analisis di atas merupakan gambaran proses mengajar yang dialogis antara mahasiswa (penulis) dan masyarakat (pembaca).


Suatu tulisan yang produktif tidak hanya ditentukan oleh kuantitas tulisan, namun kualitas isi yang mengandung nilai-nilai edukatif kepada masyarakat atau pembaca. Aspek itu adalah atribut prioritas dalam sebuah tulisan. Proses mengajar melalui tulisan, tidak terlepas dari tujuan untuk mengajarkan nilai-nilai pendidikan dan merangkul peningkatan sumber daya manusia di masyarakat ke arah yang lebih baik. Jadi, nilai-nilai edukatif dari sebuah tulisan adalah esensi ”buah” yang harus dapat dipetik oleh masyarakat sebagai pembaca.


Berdasarkan pada falsafah tujuan sebuah pohon maka setiap mahasiswa harus berjalan dalam koridor tujuan orientasi-komunitasnya, yaitu mempertahankan eksistensinya sebagai produsen ilmu dan mengaktualisasikan ilmu itu kepada masyarakat dalam bentuk aktivitas yang riil dan edukatif. Kendati terdapat banyak jenis aktivitas mahasiswa, namun menulis merupakan aktivitas tipikal yang bisa dijadikan sebagai prioritas sarana informasi untuk merealisasikan tujuan orientasi-komunitas tersebut. Dalam lingkungan akademis, seorang mahasiswa harus mengakhiri masa studinya dengan menyusun skripsi, tesis, atau disertasi. Di sisi lain, menulis adalah bentuk dedikasi mahasiswa kepada masyarakat secara praktis dan komunikatif.


Untuk itu mahasiswa harus belajar tentang mekanisme menulis yang sudah diisyaratkan sehingga tulisannya mampu mengajarkan nilai-nilai edukatif bagi seluruh kelompok masyarakat. Esensi dari proses mengajar itu adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih kritis, kreatif, dan komprehensif tentang berbagai masalah kehidupan. Aplikasi mendidik dan mengajar melalui sebuah tulisan merupakan analogi sebuah pohon yang berbuah terhadap seorang mahasiswa. Sebuah pohon yang tidak berbuah cenderung akan ditinggalkan oleh konsumen dalam siklus biologis, sedangkan seorang mahasiswa tidak dapat dikatakan telah berfungsi sebagai produsen ilmu jika ia tidak mampu menulis. Oleh karena itu, kemampuan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa adalah kemampuan menulis.





4 komentar:

Anonim mengatakan...

mahasiswa mesti giat dg tradisi intelektual: membaca, diskusi n menulis. ada rumus begini: menulis = membaca + berpikir. menulis tanpa membaca, gak akan bisa. membaca tanpa menulis, sia-sia. dalam alquran, kata 'iqra' n 'kalam' identik dengan membaca n menulis/pena.

... mengatakan...

Ya. kata iqra berarti membaca, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang selanjutnya akan menghasilkan pengetahuan. Ayat berikutnya, alladzi 'allamabilqalam, "Yang mengajarkan dengan pena."

Ayat itu bermakna perintah untuk mengajarkan pengetahuan dari proses membaca (belajar), baik dengan cara menulis, lisan, apalagi akhlak. Dan menulis adalah salah satu teknik mengajar yang memiliki jangkauan yang luas dan turun temurun.

terima kasih atas commentnya, mas/mbak.

Anonim mengatakan...

Ikut komentar ya, Bang... Terkait dengan membaca dan menulis, ada satu pertanyaan mendasar: Mengapa Sang Khaliq menurunkan ayat iqra dan qalam dalam satu paket, dan kemudian ayat-ayat tersebut diletakkan paling awal dari wahyu yang pertama kali turun kepada Kanjeng Nabi Saw? Tentu saja ada suatu maksud yang sangat penting. Coba perhatikan pada masa kejayaan Islam, ukuran tingginya peradaban waktu itu dapat dilihat dengan kegiatan-kegiatan yang bertumpu pada buku sebagai produk dari kegiatan baca-tulis untuk menyebarkan ilmu.
Kegiatan menulis yang memberikan makna adalah kegiatan menulis yang didahului oleh kegiatan membaca. Artinya, seorang penulis yang tidak suka membaca buku yang banyak dan beragam, tentu akan mengalami kesulitan dalam menghasilkan tulisan yang diksinya indah dan kaya. Atau, bahkan kesulitan dan kerepotan menulis akan muncul secara sangat hebat apabila seorang penulis tidak lebih dahulu memperkaya kosakata lewat membaca buku yang banyak dan beragam.
Membaca juga dapat mengembangkan potensi kreatif. Bagi seorang muslim, potensi ini menjadikan akal dan kalbu berfungsi lebih optimal. Karena itu, muslim yang kreatif memiliki wadah kognitif-spiritual yang lebih luas. Mereka dapat menyimpan dan mengolah pengetahuan sedemikian luar biasa. Mereka dapat menyerap ilmu secara cepat dan luar biasa banyaknya. Alhasil, kemampuan mereka untuk menerima pengetahuan begitu luar biasa. Tidak salah jika Stephen R. Covey, dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People, mendudukkan pengetahuan (knowledge) sebagai salah satu unsur utama, selain keterampilan (skill) dan keinginan kuat (desire), untuk menjalankan kebiasaan yang efektif pada manusia.
Karena itu, hanya dengan membaca bukulah seseorang dapat menyerap dan memasukkan kata-kata bermakna ke dalam dirinya. Dan hanya lewat membacalah kemudian kegiatan menulis itu akan dimudahkan atau dilancarkan sekaligus diperkaya kosakatanya. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat, “Ikatlah ilmu dengan cara menuliskannya.” Wallahu a’lam.

... mengatakan...

ya. Alquran memang kaya, khususnya penjelasan tentang perilaku.

thank u, Ardie.


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.