Ibunda Roslaini Pohan

Dia Tidak Ingin Menyapih




Roslaini Pohan. Ibu delapan anak itu lahir sebagai anak sulung dari enam bersaudara. Beliau biasa dipanggil Omak oleh anak-anaknya, panggilan khas anak-anak kepada ibunya menurut budaya Tapanuli Selatan. Beliau lahir dan tumbuh sampai remaja di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Masa kelahirannya bersamaan dengan masa sulit negeri ini memperjuangkan kemerdekaan dengan mengusir kependudukan Jepang di Indonesia.


Beliau menikah dengan Ayahanda Idrus Lubis pada tahun 1960. Mereka memulai kehidupan berumah tangga ketika Ayahanda Idrus Lubis bekerja sebagai guru di salah satu SMP Nasional (sekolah swasta) di Pekanbaru. Sekarang, SMP Nasional itu sudah menjadi SMPN 3 di Pekanbaru, Riau.


Ibunda Roslaini Pohan adalah perempuan yang teguh, berkemauan keras, bersikap tegas, dan lemah-lembut jika memang dibutuhkan. Salah satu ciri khasnya adalah kritis dan tidak mudah percaya terhadap suatu informasi. Beliau yang hanya lulusan Sekolah Rakyat (setingkat SD) adalah perempuan yang selalu mempertanyakan informasi yang ia peroleh dari lingkungannya jika melihat ketidaksesuaian antara suatu fakta dan fakta lainnya. Hal itu juga yang membentengi perilaku manipulatif Bahril Hidayat saat ketagihan narkoba dan judi patologis. Beliau selalu menginvestigasi keterangan Bahril Hidayat ketika merantau ke Jogja untuk melanjutkan kuliah S1 dan terlibat rentetan permasalahan. Akhirnya, dengan ketelitian berpikirnya, beliau mengetahui keterlibatan anaknya itu dengan narkoba dan judi patologis. Setelah beliau mengetahui hal itu tidak lantas membuatnya kehilangan kontrol dan fungsi sebagai seorang ibu, tapi menunjukkan sikap keibuan yang mengayomi anaknya, memberi hukuman yang pantas, menyusun jalan keluar, mendampingi anaknya dengan kesabaran dan tetesan air mata yang tidak sedikit yang menggambarkan kepedihan hatinya.


Tidak mengherankan jika Ibu yang berhati peka ini sudah terasah oleh kerasnya kehidupan. Di masa awal kehidupan rumah tangganya, beliau memang sudah terbiasa bekerja keras dan merasakan kepahitan hidup. Seharusnya beliau memiliki sebelas orang anak, tapi tiga janin yang dikandung gugur pada saat beraktivitas. Tiga kali keguguran itu terjadi saat mencari kayu bakar di hutan, mengangkat batu untuk pembangunan rumahnya, dan ketika beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, kesulitan ekonomi pernah membelit kehidupannya pada tahun 60-an karena resesi di zaman Soekarno. Ketika sang suami (yang saat itu berprofesi guru) berjualan beras dan buku, beliau membantu semampunya. Demi mempertahankan dapur supaya tetap ngebul, beliau berjualan kebutuhan pokok. Beliau bercerita pernah menjual seonggok bawang, segenggam cabe merah, dan arang yang diolah dari kayu bakar yang dicari sendiri di hutan untuk dijual di teras rumahnya yang berlantai tanah, meskipun sesekali harus menerima amarah dari sang suami yang sebenarnya khawatir hal buruk menimpanya di hutan. Suatu saat, kami anak-anaknya menangis ketika mendengar cerita bahwa di tahun 60-an, beliau merasa sangat sedih karena tidak mampu menyenangkan hati anak-anaknya. Keinginannya membelikan pakaian baru untuk anak-anaknya menyambut Hari Raya Idul Fitri harus kandas karena kemiskinan. Dengan mata yang berbinar dan suara yang serak beliau melanjutkan cerita, "Saat itu pakaian dalam kakak kalian yang robek hanya bisa dijahit. Itulah yang dipakainya di Hari Raya tahun itu." Allahu Akbar, sungguh tempaan Allah kepada pasangan suami istri ini menjadi panutan bagi Bahril Hidayat dan anak mereka yang lain.


Dalam membesarkan delapan orang anaknya, beliau adalah seorang pekerja keras. Hasil didikan dan kerjasama suaminya yang selalu menekankan pentingnya fungsi seorang ibu dalam rumah tangga, beliau merintis usaha (dengan pengawasan langsung dari sang suami yang ikut terjun mengembangkan usahanya) untuk membantu biaya hidup keluarga besarnya, termasuk empat orang anak perempuan dan empat orang anak laki-laki tersebut. Diawali dengan usaha perdagangan perhiasan pada tahun 1978, pasangan suami istri itu merangkak dan mewujudkan impian mereka untuk kehidupan yang lebih baik dan menyekolahkan delapan orang anak mereka. Alhamdulillah, semua anak mereka berhasil disekolahkan hingga derajat Strata 1. Saat ini, anak-anak mereka tersebar di berbagai daerah dengan berbagai profesi, yaitu dosen, guru, berwiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, usaha perdagangan perhiasan yang jatuh bangun diiringinya dengan bekerja keras dengan usaha sampingan lainnya, seperti berjualan pakaian bekas, tanaman hias, dan berjualan karpet bekas yang diimport dari negeri jiran, Malaysia. Sekarang, semua usaha sampingan itu sudah tidak digelutinya lagi karena anak-anaknya sudah mampu mandiri di keluarga masing-masing dan saling membantu dalam berbagai problematika hidup.


Sekarang, Allah swt. melimpahkan nikmat yang banyak kepada Ibunda Roslaini Pohan dan suami tercinta. Delapan orang anaknya telah menikah dan menghadiahkan 18 orang cucu yang lucu (salah seorang cucunya meninggal dunia saat masih di kandungan). Saat ini, cucu yang sulung sedang menjalani studi S1 semester empat di salah satu fakultas kedokteran di Jakarta dan cucunya yang paling muda berumur satu tahun. Beliau menikmati masa tuanya yang sudah memasuki usia 66 tahun di Pekanbaru dengan merawat tanaman hias, bermain dengan cucu-cucu tercinta, biduan yang selalu menyanyikan lagi Nasonang do Hita Nadua di panggung musik pesta pernikahan kerabat terdekat, dan pendamping sekaligus penasihat bagi anak-anaknya yang masih hijau untuk membimbing dan mendidik cucu-cucu beliau. Beliau juga sesekali masih menjadi "bankir" yang pemurah kepada anak-anaknya yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Tak jarang dompetnya yang lusuh akhirnya cuma menyimpan pecahan uang ribuan demi meredakan keluh kesah anak-anaknya yang kadang lupa bahwa beliau sudah uzur dan tidak pantas mendengar keluhan seperti itu.


Sungguh, aku bangga menjadi anaknya. Sebab, dibalik keberhasilan seorang laki-laki dan anak-anak yang menemukan jati diri pasti ada seorang istri dan ibu yang berjiwa tegar, lemah-lembut, dan warna sikap yang tegas. Sungguh, kemuliaan laki-laki terletak pada akhlaknya yang memuliakan perempuan dan keberkahan seorang anak terletak pada pengabdiannya kepada sang Ibu. Alhamdulillahirabbil ’alamin.



Moga Allah swt. melimpahkan kebaikan yang banyak untuk sang ibu (dan suaminya tercinta) yang tidak pernah menyapih anak-anaknya itu, menerima amal kebaikannya, memberikan umur yang bermanfaat kepada beliau, dan mengasihi dan menyayangi mereka di kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat kelak. Amin Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Fattah, Ya Ghafururrahim.


(Bahril Hidayat, 7 Mei 2008,
dimuat dalam Majalah Psikologi Plus,
Edisi 12 Juni 2008, Semarang)


Baca juga tentang sang suami:

Sang Pendongeng


Tidak ada komentar:


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.