Tentang Idrus Lubis


Sang Pendongeng



Hari menjemput senja. Sebentar lagi Matahari pulang ke peraduannya, tapi langit belum memerah. Warna Jingga belum terlukis di ufuk Barat, sedangkan sepasang mata seorang lelaki paruh baya yang gelisah mendahului bayang-bayang kemerahan langit. Hendak menangis, namun dia malu. Ibarat langit yang malu menangis dan akhirnya memerintahkan awan yang menitikkan hujan, seperti itu pula sang Ayah yang menahan tangis karena tak ingin menambah kesedihan istrinya yang banyak mencucurkan air mata.


Terbayang jelas dalam benak lelaki itu wajah puteri sulungnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sekelebat berganti cepat dengan tangisan istrinya. Seperti petir yang bersusulan, bayangan tentang besarnya tagihan rumah sakit untuk biaya operasi jantung puteri sulungnya menyambar pikiran sang Ayah yang gelisah itu.


Dia tak sanggup lagi. Serta merta dia berdiri dari ruang tunggu Rumah Sakit Umum Pekanbaru, Riau, dan menuju tempat parkir. Tak terasa, bulir air mata tidak bisa ditahan dan mengiringi langkahnya yang gontai. Sang Ayah di paruh usia empat puluh tahun itu menangis. Jika seorang laki-laki tua menangis, air mata itu seakan-akan menghapus sejarah ketangguhan masa muda yang telah dilaluinya dengan tegar. Inilah lembar kehidupan harga diri semua laki-laki yang berperan sebagai ayah dan suami. Dan inilah lembaran hidup Sang Pendongeng di tahun 1970-an yang pernah tertulis dengan air matanya.



Masa-Masa Berat Sang Ayah


Dia risau, gelisah, dan bingung. Tubuh tangguh sang Ayah itu mengendarai vespanya, tetapi hati dan pikiran melayang entah kemana. Teringat masa lalunya sebagai anak keempat dari tujuh belas bersaudara, Pak Lubis semakin larut lompatan-lompatan khayalan. Bayang-bayang masa kecilnya menyeruak di pikirannya yang galau.


Masa kecil Pak Lubis yang miskin mengharuskan dia menjadi pekerja keras. Penggurat pohon karet, pemetik cengkeh, dan penjaga sawah atau kebun adalah pekerjaan yang harus ia lakoni untuk tambahan biaya sekolah sebab uang dari orang tuanya tidak cukup. Menderes karet, itulah istilah pekerja di kebun karet di tanah Mandailing, Tapanuli Selatan. Menghentak dan menggoyangkan tali penggerak orang-orangan sawah, itu pula pekerjaan lainnya di masa kecil. Tak urung sawah di hutan itu pun dilintasi Harimau Sumatera, dan semua pengalaman itu mencecar benak Pak Lubis yang sedang diambang depresi.


Pikirannya masih kacau, khayalnya terus melompat-lompat, sedangkan vespa itu masih melaju. Ia melamun dalam pikirannya berkata, "Ingin berutang untuk biaya operasi jantung itu, tapi orang kaya mana yang percaya meminjamkan uang kepada orang miskin seperti aku? Seandainya pun ada, pakai apa hendak aku bayar utang itu kelak?"


Dia terus dicecar oleh pikirannya sendiri, sedangkan vespa tua itu seakan mengerti kesedihan tuannya dan berusaha menjaga keseimbangan agar tuannya tidak mengalami kecelakaan. Setelah pikiran lelaki tua itu kembali pada ruas jalan yang ia lalui, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk menabrakkan vespa tua itu. Agaknya, kematian lebih baik untukku daripada harus menanggung keadaan ini, begitu pikirnya dangkal.


Tapi alhamdulillah, lekas-lekas dia istighfar. Dia memohon ampun kepada Allah karena lintasan pikiran yang putus-asa itu.


Akibatnya air mata Pak Lubis semakin deras, tapi untunglah gerimis menutupi air matanya. Air hujan menyembunyikan aib sang Ayah yang menangis karena diuji Allah. Ujian yang sangat berat bagi seorang Ayah karena harus menghadapi kenyataan bahwa puteri sulungnya akan dioperasi, sedangkan biaya untuk operasi itu tak ada. Malu, sedih, takut, marah, bingung, dan perasaan setengah putus-asa berkecamuk di dalam perasaannya.


Akhirnya, malam menyelimuti kegelisahan lelaki itu. Pak Lubis sampai di rumahnya. Dia membuka pagar rumah dan memarkir vespa tua itu sekenanya. Dia terjerembab dan menyelingar di kursi rumah reyot yang berdinding papan. Rasa lelah, doa, dan air mata telah menyatu di rumah itu. Entah berapa ratus kali terucap di lidah dan bergumam di hati, sampai akhirnya doa-doa itu menjelma di dalam mimpi sang Ayah yang gelisah pada tahun 1970-an, di salah satu gang di kota Pekanbaru, Riau.



Pertolongan Allah Kepada Pak Guru


Hari berganti, harapan baru pun lahir. Pak Lubis masih berusaha menatap dan menghadapi hari dengan lebih tegar. Harapannya kepada Allah dijaga agar tidak pupus, meskipun gejala-gejala depresi menjadi sahabat dekat pada saat itu. Tak diduga profesinya sebagai seorang guru memperoleh berkah dari Allah. Murid-murid Pak Lubis datang memberikan kabar gembira.


Salah seorang mantan muridnya menjenguk ke Rumah Sakit dan mengabarkan bahwa murid-murid Pak Lubis di SMP Cendana, Pekanbaru, mendengar kabar operasi jantung itu. Lalu mereka berinisiatif untuk mengumpulkan uang. Salah satu tujuan kedatangannya adalah memberikan dana bantuan tersebut.


Alangkah terharunya Pak Lubis mendengar niat baik murid-muridnya tersebut. Dia tidak tahu harus mengucapkan apa kepada muridnya itu, tapi sebaris ucapan terima kasih yang mendalam menjadi gambaran perasaan yang sebenarnya. Lalu di kamar rawat inap itu, senyuman mulai menghiasai wajahnya yang putih. Senyuman itu lahir dari wajah sang Ayah yang enggan berputus-asa, meskipun sesekali harapan terlihat jauh dari genggamannya.


Asam Garam Kehidupan


Idrus Lubis adalah Ayah dari delapan anak. Allah memberikannya empat orang puteri dan empat orang putera. Dengan susah payah dia dan sang istri, Roslaini Pohan, membesarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka. Alhamdulillah, semua anak-anaknya menyelesaikan derajat pendidikan Strata 1. Ada yang sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia, Insinyur Perikanan, Sosial-Politik, Ekonomi, Hukum, dan Sarjana Psikologi.


Bagi Pak Lubis, pendidikan adalah nomor satu. Apapun jenis pekerjaan yang halal akan dilakukannya agar anak-anak sekolah. Jadi, tidak heran jika dia pernah bekerja sebagai pengecer beras, distributor buku ke toko-toko buku, berdagang perhiasan bersama sang istri, dan menulis baik buku maupun artikel di media cetak. Inilah tabiat dasar dan mimpi Pak Lubis, yaitu anak-anaknya harus mengecap bangku sekolah minimal Strata 1. Akhirnya, Allah mengabulkan mimpi-mimpinya itu, meskipun cobaan dari-Nya seakan enggan berakhir.


Pada masa akhir studi anak bungsunya di tahun 2002, dia menghadapi cobaan yang jauh lebih berat. Di paruh usia 60-an, dia harus menelan pil pahit bahwa anak bungsunya menderita Skizofrenik-Paranoid. Pengobatan medis terus dijalani, meskipun dokter memprediksi kesembuhan bagi anaknya itu sangat kecil (prognosis negatif). Tapi, boleh jadi karena dia sudah terbiasa dengan asam garam kehidupan, dia tidak berhenti berusaha untuk mengobati anaknya.


Pengobatan anak bungsunya itu juga harus menelan biaya yang tinggi. Dia bercerita bahwa pernah menebus obat seharga 1,5 juta untuk satu minggu. Tapi dia tidak bergeming. Anak saya harus sembuh, demikian tekadnya.


Di sisi lain, meskipun anak bungsunya itu tengah menderita Skizofrenik Paraonoid, Pak Lubis tidak berhenti menyemangati anaknya untuk menyelesaikan studi S1. Pak Lubis menjadi rekan penelitian untuk skripsi anaknya dan perawat yang disiplin dalam memberikan obat psikofarmakologis. Maha Besar Allah, Pak Lubis berhasil melewati masa-masa sulit itu dan mengantarkan anak bungsunya menjalani ujian skripsi dan lulus dari bangku sarjana S1, Sarjana Psikologi pada bulan Maret 2004.


Seiring dengan itu, bakat dan kemauan belajar yang Pak Lubis miliki diwariskan kepada anak bungsunya. Setelah sembuh dari Skizofrenik-Paranoid, anak bungsu Pak Lubis menyusun novel otobiografi tentang penyakit tersebut. Novel otobiografi itu mendapat sambutan yang bagus dari kalangan akademisi psikologi, kedokteran, dan pembaca dari masyarakat umum.


Sang Pendongeng


Saat ini, Pak Lubis menikmati masa tuanya dengan aktivitas sosial. Setelah pensiun dari aktivitas mengajar di FKIP UNRI, Pekanbaru, Riau, dia aktif di kepengurusan mesjid maupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Semua itu dia jalani dengan ketulusan agar menjadi contoh bagi anak-anaknya untuk menjaga silaturahmi dengan orang banyak.


Selain itu, salah satu pekerjaan rutinnya sekarang berperan sebagai pendongeng bagi cucu-cucunya. Kakek delapan belas cucu ini akrab dengan panggilan Opung menjadi pendongeng spontan. Dia seorang kakek yang ekspresif jika memberikan cerita Kancil dan Buaya, Malin Kundang, ataupun mengarang spontan cerita dongeng Kelinci dan tokoh-tokoh hewan lainnya.


Tak perlu konsep atau referensi jika cucu-cucunya meminta cerita dongeng tambahan, segera Pak Lubis mengarang cerita baru dengan tokoh hewan dan menyelipkan pesan moral tentang keutamaan berbakti kepada orang tua, sifat menabung, atau bekerja sama dengan orang lain. Itulah dongeng-dongeng yang dia ceritakan dan karang kepada cucu-cucunya. Boleh jadi, tugasnya di masa lalu sebagai salah seorang anggota penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) membuat Pak Lubis tidak kehabisan kosa kata untuk menyusun dongeng.


Memang kehidupan ibarat roda. Kadang berada di bawah, tapi ada saatnya di atas. Pak Lubis adalah representasi kehidupan manusia yang terus berjalan dan menjadi cermin bagi manusia yang berpikir dan merenungkan ayat-ayatNya, yaitu bersama kesulitan ada kemudahan. Di balik itu semua, tergantung kepada kita sebagai manusia yang diberikan Allah potensi fisik (motorik) dan mental (emosional, intelektual, dan konatif), apakah kisah hidup ini ingin kita susun menjadi dongeng yang menyiratkan pesan moral atau sekadar dilewati tanpa makna sama sekali?


Dimuat dalam Majalah Psikologi Plus, Semarang,
Volume III, No. 6, Desember 2008
dengan sebagian perubahan oleh editor.


Baca juga tentang istri:
Dia Tak Ingin Menyapih

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Skizofrenik-Paranoid ituh apa??

... mengatakan...

Skizofrenik paranoid itu gangguan mental berat yang diiringi delusi dan halusinasi dengan gejala utama kecurigaan yang berlebihan terhadap orang (objek) lain.


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.