Esai Filsafat: Takdir

Takdir

Sebuah Kajian Positivistik-Intuitif Berdasarkan Paradigma “aku”[*]
(Oleh Bahril Hidayat)


Konsep tentang takdir sangat beragam. Bertolak dari berpikir analitis yang spontan, radikal, dan komprehensif, bisa diberikan penjabaran ringkas dari sudut pandang Islam, Positivistik, dan Filsafat ”aku” dalam tulisan ini.

Filsafat ’aku’ adalah derivasi konsep sufistik yang berkembang selama lebih dari sebelas abad, khususnya sejak pemikiran Hasan alBasri menjadi sebuah pilar penting dalam pemikiran tasawuf dan pemikiran saya tentang konsep ”aku”, baik dalam bentuk karya tulis sajak, maupun pati kata yang akan dijelaskan secara lugas dalam tulisan ini kaitannya dengan konsep takdir manusia.


Ilustrasi Cerita

Apakah ada yang kebetulan di dunia ini? Pada pertanyaan yang lebih mengerucut, apakah seorang anak dilahirkan dari rahim ibunya karena kebetulan? Lalu di mana peran determinisma dalam kehidupan?


Jika kebetulan itu ada maka efek domino dari manipulasi perlakuan terhadap sebuah fenomena (yang mempengaruhi fenomena lainnya secara beruntun) merupakan pandangan yang spekulatif. Benarkah begitu?


Contohnya begini. Saya berangkat ke kampus besok pagi. Di pertigaan tempat saya kos, saya bertemu seorang anak kecil usia 15 tahun yang sedang murung. Saya tersenyum pada anak yang terlihat sedih itu. Senyuman saya mengembalikan semangatnya yang telah pudar, sebab sebelum dia bertemu saya dia sudah berniat bunuh diri karena ayah dan ibunya korban gempa bumi. Tapi sebaris senyum yang remeh-temeh dari saya menyalakan secercah harapan tentang kehidupan dalam dirinya.



Coba bayangkan. Jika saya tidak pergi kuliah hari itu. Apakah dia akan bunuh diri karena keputus-asaannya? Atau dia bertemu anak kos lain yang memaki-maki dia karena menyeberang jalan sembarangan lalu membuat anak itu tidak jadi bunuh diri, tapi justru membunuh si pemakinya itu karena depresi keputus-asaannya bertransformasi menjadi energi agresivitas yang besar.

Atau ada peristiwa lainnya. Dia menemukan segepok uang dari tas seorang cewek pemilik kos-kosan sebelah rumah sewa saya yang terjatuh tadi malam dan membuat ia bersemangat karena punya modal untuk berjualan.

Tetapi, cerita ini bisa dipahami juga menjadi peritiwa yang berbeda melalui skenario yang lebih baik. Alurnya adalah karena saya bertemu anak usia belasan itu di perempatan jalan setelah saya berdoa di pintu kamar saya agar diberi keselamatan dan manfaat untuk diri sendiri dan orang lain, lalu Allah kabulkan melalui sebaris senyuman yang ringan. Akhirnya, anak itu tidak jadi bunuh dirn karena senyuman saya yang tulus, dia balas tersenyum pada temen kos saya yang memaki-makinya, dan mengembalikan tas berisi uang itu kepada perempuan muda pemilik kos di sebelah rumah sewa saya itu. Dan, karena kekaguman perempuan itu pada kejujuran anak itu, dia diberi pekerjaan sebagai tukang kebun di rumahnya.


Apakah efek domino dalam kehidupan itu ada? Jika ada, maka benarkah tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Lalu apa fungsi doa bagi orang beragama? Apakah determinisma (penentuan sebab-akibat) itu bagian dari takdir? Sebagian jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut akan dijawab secara sekuensial sekaligus penjelasan filosofis dari ilustrasi kisah tentang anak kecil di atas.


Tesis dan Anti Tesis Konsep ”aku”

Konsep "aku' yang saya susun di dalam puisi, pati kata, atau tulisan lain bukan bermakna Tuhan, bukan pula manifestasi atau pengejawantahan eksistensi atau esensi iluminasi dengan Tuhan. Sebagian kalangan sufi Islam salah artikan konsep sufi yang lurus dan memaknai penyatuan (iluminasi) adalah penyatuan esensi, padahal bukan.

Kemudian ada banyak pendapat tentang ”aku” dari berbagai literarur. Salah seorang teman diskusi saya, Tayo Sandono yang mengutip berbagai referensi tentang adanya indikasi koherensi sekaligus anti-tesis konsep ”aku” berdasarkan teori lainnya.

Ambil contoh penfsiran banyak dunia Everett. Dalam eksperimen kucing Schrodinger, dimana ada kemungkinan 50% hidup dan 50% mati dari seekor kucing dalam kotak. Saat kita membuka kotak tersebut, kita akan melihat kucing tersebut hidup atau kucing itu mati. Tidak mungkin kedua-duanya. Everett mengatakan tidak ada kemungkinan yang runtuh. Dunia membelah saat itu. Dimana AKU menjadi dua. Satu yang melihat kucing hidup. Dan satu yang melihat kucing mati. Dengan penafsiran ini, tindakan membuka kotak dapat di artikan menciptakan alam semesta baru. Sebuah semesta paralel.

Dalam sebuah makalah berjudul The Confluence of Psychiatry and Mysticism, seorang psikiater, Stanley R Dean, mencatat daftar kepercayaan mistik yang semakin banyak diterima secara ilmiah. Diantaranya dia menyodorkan hipotesis bahwa AKU memiliki sifat-sifat medan universal seperti medan gravitasi dan medan magnetik. Hal itu sesuai dengan penelitian ilmiah.


Sayangnya kita sendiri tidak dapat menentukan hukum yang menjadi pengatur alam-alam yang kita buat. Tentu saja substansi realitas itu sendiri adalah geometri. David Finkelstein menyatakan ruang waktu adalah sebuah konstruk statistik dari sebuah struktur kuantum pra-geometris yang lebih mendalam di mana proses adalah sesuatu yang fundamental. Menurut relativitas, dunia ini adalah kumpulan proses. Menurut Teori Kuantum, proses ini adalah pemetaan atas objek-objek dari keadaan awal hingga akhir. Waktu tidaklah begitu disucikan bila ada materi yang bergerak lebih cepat dari cahaya.
AKU juga memiliki arketipe-arketip, sebuah sifat yang menurut Carl Gustav Jung tidak bersifat psikis (datang dari jiwa) tapi psikoid (semi-kejiwaan) yang terjadi secara turun-temurun, dimana sebagian berasal dari alam di luar manusia. Imajinasi kita bukan semata-mata karena AKU bawah sadar, namun juga geometri ruang waktu.

Sementara itu, Tantra menegaskan bahwa alam semesta ini bisa dianggap sebagai sebuah emanasi AKU. Penampakan Tantra ini bermanifestasi ke dalam bentuk alam lalu bersifat fisik dan objektif adalah “Maha Maya”, ilusi terbesar. Namun, menurut Tantra, alam semesta ini bukanlah sebuah proyeksi satu AKU saja. Setiap AKU di antara kita ikut menciptakan proyeksi tersebut.


Sebuah studi Profesor Wilson dari Institute of London University menemukan bahwa 30 orang disebuah Desa di Afrika tidak dapat melihat isi film penerangan yang dipertontonkan kepada mereka. Hanya satu yang dapat mereka lihat dalam film itu, ayam betina yang lewat sekilas saja. Ayam betina dianggap suci oleh orang Afrika ini dan bagi mereka inilah satu-satunya yang nyata, bagian dari realitas mereka.

Alexander David Neel mengatakan bagaimana ia diajarkan menciptakan bentuk-bentuk AKU oleh pendeta tibet. Ia melakukan ritual-ritual mengkonsentrasikan pikiran dan setelah beberapa bulan melihat rahib hantu yang ia ciptakan. Rahib ini terus mengikutinya kemana ia pergi.


Setiap AKU juga merasakannya dalam mimpi. Apa tujuan dari mimpi? Tidak ada atau segalanya, tergantung pada AKU. Ruang waktu disini hanya untuk memiliki sesuatu untuk dikerjakan, demikian kata Bob Toben.


Karl H Pribrm merasakan bahwa semua AKU memiliki, selain manipulasi tanda dan simbol, sebuah komponen holografik. Ketika AKU melihatnya, hologram-hologram menjadi katalisitor pada bagian atau sub AKU yang linguistik. Meskipun tetap tak berubah, menurut Pribram, katalis-katalis itu masuk ke dalam dan mempermudh proses berpikir.

"aku" adalah upaya manusia sebagai makhluk untuk meneladani sebagian Nama dan Sifat Allah karena tidak semua asma Allah bisa diteladani melalui akhlak. "aku" adalah dimensi nurani dan lathif yang berisikan asSir atau pengetahuan sempurna dari Allah kepada hambaNya yang Dia kehendaki. Tapi, ada batas dan sekat yang jelas antara Allah (Khalik) dan manusia (makhluk).


Konsep ”aku”


Sederhana saja. Air laut dan air sungai adalah sama-sama zat cair. Tapi dalam pertemuannya ada sekat; batas yang jelas. Apalagi antara Allah dan manusia. Dalam surah al-Isra diterangkan,"Wanafakhtu fiihi minrruhi-dan Aku tiupkan kepada Adam ruh (ciptaan)-Ku." Ayat tersebut sering disalah-artikan sebagai ayat Qouliyah yang dijadikan media atau landasan penyatuan ruh Allah dan manusia. Padahal bukan, redaksi min ruhi bukan bermakna "dari RuhKu" secara lugas, tetapi bermakna "dari ruh ciptaanKu". Tidak mungkin esensi Ruh Allah menyatu dengan Ruh manusia, karena Allah adalah Khalik dan manusia adalah makhluk seperti sekat yang jelas antara air asin dan air tawar di atas. Seandainya esensi Ruh Allah dan ruh manusia sama, maka tetap masih ada sekat yang jelas.



Ilustrasi itu dapat dipahami ketika Nabi Musa as. mengira beliau adalah orang yang paling cerdas (berpengetahuan) di muka bumi. Lalu Allah swt. menegur beliau dan perintahkan agar menemui hambaNya yang lain, yaitu Nabi Khidr as. di suatu tempat.
Tempat itu adalah perbatasan air laut dan air sungai (tawar). Tentu analogi saya tentang batas air laut dan sungai tersebut lebih dijelaskan oleh pertemuan mereka itu.

Intinya, Nabi Khidr as. memiliki pengetahuan lain yang membuat Nabi Musa as. sadar bahwa beliau bukanlah orang yang paling cerdas dan berpengetahuan (ma'rifat), namun Allah swt. anugerahkan ilmu, pengetahuan, dan perilaku pada seorang hamba sesuai dengan kadarnya. IlmuNya pada Nabi Musa berbeda dengan anugerah ilmu dari Allah kepada Nabi Khidr as. Inilah yang menjadi konsep pengetahuan dan berperilaku bagi manusia. Ini juga hikmah tersembunyi tentang pengetahuan yang "aku" miliki di dalam setiap manusia apabila "aku" tersebut diperlakukan dan diaktualisasikan secara tepat, bukan dimaknai sebagai penyatuan eksistensi dan esensi.

Jadi, "aku" bukan manifestasi; penyatuan; atau Tuhan itu sendiri. "aku" bisa dimaknai manifestasi Sifat dan Nama Allah; meneladani sebagian Sifat dan Nama Allah, tetapi bukan manifestasi esensi dan eksistensi penyatuan dengan Allah. "aku" adalah pasangan aku (QS. 36: 36, ayat tentang semuanya berpasang-pasangan) untuk menuju pengetahuan puncak agar diamalkan secara kontinu hingga akhirnya aku menjadi tenang (muthma’innah).


Studi Menarik Tentang Persepsi

Pada bagian awal dijelaskan kutipan Tayo Sandono tentang sebuah studi Profesor Wilson dari Institute of London University menemukan bahwa 30 orang disebuah desa primitf Afrika tidak dapat melihat isi film penerangan yang dipertontonkan kepada mereka. Hanya satu yang dapat mereka lihat dalam film itu, ayam betina yang lewat sekilas. Ayam betina dianggap suci oleh orang Afrika ini dan bagi mereka inilah satu-satunya yang nyata, bagian dari realitas mereka.


Alexander David Neel mengatakan bagaimana ia diajarkan menciptakan bentuk-bentuk AKU oleh pendeta tibet. Ia melakukan rital-ritual mengkonsentrasikan pikiran dan setelah beberapa bulan melihat rahib hantu yang ia ciptakan. Rahib ini terus mengikutinya kemana ia pergi.

Untuk menjelaskan fenomena itu saya mengutip pendapat Tantra yang berkembang ke dalam bentuk paradigma Makrokosmos dan Mikrokosmos. Pemeriannya adalah salah satu jalan pikiran falsafah tentang hubungan manusia dengan alam semesta. Penjabarannya bukan pada aspek kebersatuan (iluminasi), proyeksi, ilusi atau penciptaan "aku". Untuk mencapai "aku" harus melewati banyak ilusi, justru "aku" adalah realitas yang sudah melewati semua ilusi tersebut, termasuk (sebagai contoh) ilusi hantu Rahib dan bias persepsi di kalangan suku primitf di Afrika tersebut. Mereka hanya mampu mencapai ilusi karena masih dipengaruhi oleh persepsi, persepsi membentuk pengetahuan, pengetahuan mendahului persepsi-palsu sebagai label dalam mengevaluasi sebuah stimulus. Label itulah Labirin Ilusi. Inilah kenapa pentingnya tahapan sekuensial dalam proses belajar menuju "aku" seperti juga yang dianalogikan dalam proses penciptaan manusia menurut Quran, yaitu setetes air, segumpal darah, segumpal daging, peniupan ruh, dan penyempurnaan fisik. Proses gradual itu demi memenuhi keseimbangan hukum alam. Jika menyalahi sunnatullah (hukum alam) karena upaya akselerasi demi mencapai tujuan, konsekuensinya akan merusak hukum alam itu sendiri (sunnatullah). Oleh karena itu, tidak jarang individu menjadi abnnormal jika terjadi proses akselerasi, namun abnormalitas sebaiknya dipandang dari dua aspek, yaitu supra-normal (positif) dan kontra-normal (negatif). Inilah analogi lompatan Quantum, khususnya pada bagian supra-normal.


Perspektif Matematis dan Analisis Filsafat ”aku” tentang Takdir

Ucapan John Forbes Nash tentang teori keberhasilan yang bertolak dari asas teori peluang,"Peluang keberhasilanku bertambah pada setiap upaya yang aku lakukan." Premis itu dikembangkan sebagai landasan memahami analisis perjalanan takdir yang terjadi pada manusia.


Misalnya saya jatuh cinta pada seorang perempuan. Ada sepuluh (10) kali pertemuan yang sudah diatur. Dari sepuluh pertemuan itu, saya berupaya hanya satu kali. Berarti peluang keberhasilan saya 1/10=10%. Bayangkan jika dalam 10 pertemuan yang sudah diatur itu saya melakukan upaya penaklukan cinta 10 kali, tentu saja hasilnya 10/10= 100%.

Tapi kemudian muncul pertanyaan, apakah setiap orang tahu skenario pertemuan itu? Padahal skenario manusia harus bersandar pada skenario sutradara (Qudrah dan Iradah Allah). Inilah jika tinjuannnya agama.


Allah sudah tetapkan setiap pertemuan (peluang) dalam waktu tertentu. Upaya manusia merupakan aktualisasi skenario manusia yang diatur dalam bentuk sub-skenario sutradara. Namun, ada sebuah skenario induk yang tidak bisa dimanipulasi, misalnya hukum eksakta fisika, biologis (jenis kelamin secara utuh), dll. Inilah kategori determinisma (sebab-akibat) yang disampaikan di awal. Seandainya dilakukan upaya manipulasi, maka yang terjadi adalah varian baru yang bermutasi dan tetap harus terikat pada hukum sebab-akibat yang baru pula.


Lalu, eksplanasi berikutnya adalah tentang konsep fleksibilitas skenario utama. satu-satunya yang (berpotensi) bisa mengubah skenario utama itu adalah doa. Tema inilah yang sulit untuk dijabarkan secara logis dan rasional karena keterbatasan daya nalar manusia. Logis dalam arti masuk akal (persuasif), rasional berarti bisa diperhitungkan (akurat). Upaya manusia di atas menjadi sisi peningkatan peluang keberhasilan yang semakin tinggi (kadar) untuk mencapai kemutlakan dari pengabulan doa (qada; ketetapan Allah). Selanjutnya, Qada Allah itu bisa diubah hanya berdasarkan satu aspek tersebut yaitu doa sebagai puncak dari upaya; ikhtiar berdasarkan KehendakNya yang dekat kepada ikhtiar mematuhiNya (kadar manusia). Namun perlu digaris-bawahi bahwa kadar manusia bersandar penuh pada QadaNya sebab Qudrah dan Iradah Allah dalam menentukan sebuah ketetapan (Qada), misalnya mengabulkan doa itu, sangat tepat perhitungan; kalkulasi (rasio) dan adil merata secara objektif (logis) demi mencapai kesetimbangan kebaikan bagi agentif-agentif lain dalam sebuah siklus tidak terputus pada efek domino yang panjang. Pada tahap ini terjadi ketidak-mampuan nalar manusia memahami dan menjelaskannya secara utuh dan radikal (detil).

Akhirnya, pada tahapan ini seorang pemikir cenderung menjumpai ilusi-ilusi rasio dan logika sehingga memisahkan diri dari Realitas Allah di atas. Selain itu, keterbatasan nalar tersebut kadang bisa juga berupa penolakan (denial) dengan bentuk kalimat, "Berarti Tuhan tidak ada, manusia berkehendak secara bebas. Parahnya, persimpangan berpikir itu memasuki jalan pasrah yang fatalistik, premisnya manusia adalah makhluk pasif yang tidak berdaya upaya sama sekali." Inilah suatu kondisi yang saya beri istilah Labirin Ilusi seperti disebutkan di bagian sebelumnya. Labirin Ilusi itu terbentuk dari suatu proses penggunaan konsep pengetahuan dalam menganalisis sesuatu yang berasal dari persepsi (Label), pengetahuan itu dijadikan sebagai prinsip untuk mengevaluasi stiumulus, lalu lahirlah simpulan yang bersifat Label tersebut. Bertolak dari label itulah akhirnya seorang pemikir akan berputar-putar di dalam Labirin Ilusi. Jadi, kondisi keterbatasan nalar manusia menjadi label untuk mengevaluasi dinamika stimulasi yang menyertai kehidupannya .


Boleh jadi, aphorism the right man in the right time and place bisa dinterpretasi secara radikal sebagai bentuk intuisi seseorang yang terbiasa berikthtiar pada sepuluh peluang dari sepuluh ketetapanNya yang ditetapkan, termasuk doa (puncak ikhtiar) pada setiap peluang tersebut. Dalam sebuah metafora, saat itulah bagi nisbi untuk masuk ke kuburnya, dan niscaya menjadi simpulannya.


Boleh jadi, penjabaran di atas lugas dan kompleks untuk mensintesis ucapan Nash tentang persentase peluang keberhasilan yang bergerak secara linier terhadap kuantitas ikhtiar yang dilakukan manusia dengan dua syarat tentang takdir, "Takdir harus memenuhi dua syarat. Pertama adalah cukupnya kadar seorang hamba, kedua adalah telah sampai masa waktu yang telah ditetapkan. Apabila dua syarat itu terpenuhi, maka tak satupun makhluk mampu menolak takdir." Kadar individu berarti upaya dan doa yang berkesinambungan untuk mencapai takaran yang siap untuk menerima suatu ketetapanNya, sedangkan masa waktu merupakan ketetapan atau pre-destinasi yang sudah ditetapkan Allah di Lauhul Mahfudz.

Jadi, pencapaian ”aku” yang sempurna menjadi jalan logis untuk menciptakan sub-takdir manusia dengan persentase yang besar. Apakah kesempurnaan pencapaian ”aku” akan mencapai 100 % pembentukan takdir manusia itu sendiri?

Pertanyaan retoris itu masih membuka peluang jawaban lain yang menyusun penjelasan lain secara kritis dan komplementer. Inilah paradigma filsafat yang selalu terbuka terhadap dinamika pemikiran manusia, yaitu proses berpikir yang berkesinambungan, bukan premis yang mutlak secara absolut.

Akhirnya, kebijaksanaan filsafat dalam memahami takdir dapat dipahami melalui ilustrasi cerita si anak kecil di bagian awal. Itulah takdir filsafat, yaitu membentuk peradaban manusia berupa takdir terbaik, meskipun sekadar bertolak dari senyuman yang ringan. Begitu pula kesenangan dinamika berpikir manusia yang menyenangkan dalam paradigama Filsafat ‘aku”, yaitu kesenangan membentuk pribadi yang utuh dalam memaknai bahwa tidak ada yang kebetulan di dalam takdir manusia.


Bahril Hidayat adalah seorang
Peminat Psikologi, Islam, Sastra,
dan Filsafat


Sumber Bacaan

Adolf Greenbaum, Philosophical Problems of Space and Time, 1973. D.Reidel:Boston,

Alexander David Neel, Magic & Mystery in Tibet, 1971. Penguin: Baltimore.

Carl Sagan, The Cosmic Connection, Dell: New York, 1973
Karl H Pribram, Languages of the Brain, Prentice-Hall:Engle

David Finklestein, “The Space Time Code”, Physical Review, 5D, no 12, (15 June 1972)

Evan Harris Walker, “The Nature of Consciousness”, Mathemtical Biosciences 7 (1970): 138-197.

Jack Sarfatti, “Implications of Meta-Physics for Psychoenergetic Systems” dalam Psychoenergetic Systems, vol.1, Gordon & Breach : London, 1974

John Wilson, “Film Literacy in Africa”, Canadian Communication, vol 1, no 4 (Summer 1961)

Nash, J.F. 2002. A Beautiful Mind. Film. 2002. Warner Bross.

Sir John Woodreffe, Mahamaya : The World as Power, Power as Consciousness. 1964. Gnesh & Co: Madrs, India.

Stanley R Dean, “Metaphysichiatry : The Concluence of Psychiatry and Mysticism”, Fileds Within Fields, No 11 (Spring 1974) : 3-11


Werner Heisenberg, Physics & Philosophy. 1958. Herper Torchbooks : New York.


[*] Pemilihan term dalam tulisan ini tentang skenario utama, sub-skenario, rasio, kalkulasi, yang ditujukan sebagai kata kerja, sifat, dan benda kepada Allah tidak mewakili fakta yang sesungguhnya. Fakta esensi sifat dan nama Allah tidak seperti memahami kondisi ilustrasi di dalam tulisan ini. Tetapi kata ganti itu sebagai bentuk upaya membuka pemahaman seperti yang pernah Nabi saw. tanyakan kepada sahabatnya saat melihat seorang ibu yang sangat sayang menimang-nimang anaknya. Beliau bertanya,"Menurut kalian, bagaimana rasa kasih sayang ibu itu kepada anaknya? Sahabat menjawab,"Sangat besar ya Rasulullah." Nabi lalu melanjutkan,"Sesungguhnya kasih (arRahman) dan cinta (arRahim) Allah jauh lebih besar dibanding kasih sayang ibu itu kepada anaknya." Bahkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sebagai bentuk curahan kasih sayang yang murni dan tertinggi dalam pemahaman empirik manusia tidak sepadan dengan sifat dan nama Allah tersebut, apalagi representasi fakta Sifat dan Nama Allah yang tersaji dalam ilustrasi dan pemerian pada tulisan ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

blog nya bagus.........


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.