Sebab Engkau Pemaaf
Di suatu negeri Antah Berantah, hiduplah seorang Raja yang pemurah, bijaksana, dan sangat adil. Ia begitu kasih kepada rakyatnya dan memperhatikan semua aspek kehidupan rakyatnya.
Raja tersebut dikenal sebagai pemimpin yang kharismatik, penyayang, dan cerdas. Ia selalu memiliki pemikiran-pemikiran untuk mencari jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, mulai dari permasalahan kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu tanda kebijaksanaan Raja ini adalah ia akan secara langsung mengadili dan memutuskan hukuman bagi rakyatnya, namun hal itu khusus bagi rakyatnya yang diduga melakukan pelanggaran karena terpaksa atau sebab lainnya yang tidak terjamah oleh fungsi hukum, tapi oleh kebijaksanaan.
Sampai di suatu hari yang telah ditentukan, Raja begitu murka karena anaknya yang sulung dibunuh oleh salah seorang rakyatnya. Ia begitu gundah menghadapi masalah itu.
Permasalahan itu tak pelak mengundang perhatian penuh dari sang Raja. Hal itu memaksanya untuk menyelidiki langsung. Setelah mengetahui duduk permasalahan kasus itu dengan baik berdasarkan bukti-bukti dan kesaksian dari orang-orang yang mengetahui masalah itu, akhirnya ia menyadari bahwa sang pangeran memang melakukan kesalahan besar.
Hari demi hari berlalu, kegundahan Raja tak juga hilang. Ia sudah berusaha untuk menegakkan rasa keadilan di dalam dirinya, namun rasa kasih sayang kepada anaknya masih juga menguasai hatinya. Ia terus berjuang untuk berpikir jernih dan bijak, meski hal itu sangat berat.
Sampailah waktu memasuki minggu kelima, Raja yang bijaksana itu merasa ia sudah siap menghadapi kenyataan itu. Ia memerintahkan pengawalnya untuk mengeluarkan si pembunuh dari penjara. Ia sudah menyiapkan semua rencana dan kemungkinan untuk mengadili si pembunuh.
***
“Hei orang yang celaka! Kenapa engkau membunuh anakku?”
Pembunuh itu diam. Ia takut dan menyadari kesalahannya. Perbuatannya merupakan suatu kesalahan yang hampir dapat dipastikan mengakibatkan hukuman mati jika Baginda Raja tidak bisa berlaku adil.
“Kenapa engkau diam? Jawab!”
Dia tetap diam, membisu bak batu karang. Walaupun ia tahu bahwa Baginda Raja seorang pemimpin yang pemaaf, tapi ia merasa bahwa ia sudah tidak mungkin dimaafkan.
“Atau, engkau ingin dihukum tanpa pembelaan sedikit pun?” tanya Raja itu.
Setelah mendengar pertanyaan Baginda itu, muncul secercah keberanian karena ia ingin mendapat pengampunan.
“Wahai Raja, sungguh hamba tak sengaja dan khilaf. Hamba terbawa amarah.”
“Amarah apa yang mengakibatkan kesalahan besar ini? Bahkan engkau berani membunuh salah seorang puteraku? Orang yang kuharapkan akan membantu kepemimpinan negeri ini!”
“Jawab!” bentak Raja itu.
“Wahai Raja yang bijaksana, hamba khilaf.”
Si pembunuh diam sejenak. Ia terkesan takut menyampaikan isi hatinya. Namun kehormatan diri harus dipertahankan, pikirnya.
“Dia telah menggagahi anak hamba setelah membunuh istri hamba. Lalu hamba gelap mata karena ingin membela kehormatan diri dan keluarga.”
“Hei! Kenapa engkau begitu lancang? Bukankah aku sudah mengatur hukum di negeri ini berdasarkan hukum Allah dan Rasul-Nya? Hukum itu bahkan berlaku bagi diriku sendiri dan keluargaku. Lalu kenapa engkau tidak mempercayai pemimpinmu?”
Sebenarnya, si pembunuh menyadari bahwa hukuman mati adalah yang paling layak bagi sang pangeran karena ia telah membunuh istrinya dan memperkosa anaknya, padahal pangeran sudah menikah dan dikaruniai dua orang anak yang cantik. Bahkan, di dalam hatinya tidak sedikit pun merasa bersalah, karena memang demikianlah qishash menurut hukum Allah swt. Ya, hukuman mati bagi pembunuh dan pelaku tindak pemerkosaan yang sudah menikah.
“Bukan begitu wahai Baginda. Bukan…”, jawab si pembunuh lirih.
“Hamba gelap mata. Amarah menguasai diri hamba sehingga tanpa hamba sadari hamba sudah membunuh Pangeran, Baginda,” jawabnya penuh rasa takut. Mungkin saja, rasa benci masih bergemuruh di dalam hati kecilnya karena ia sudah kehilangan istri tercinta dan kehormatan puterinya.
“Hanya itu pembelaanmu?” tanya Raja itu.
“Hanya karena amarah? Lalu engkau jadikan amarah sebagai alasan agar engkau aku ampuni?”
“Ya, Baginda. Maafkanlah hamba”, pintanya.
“Berikan aku alasan lain yang bisa membuat aku memaafkanmu agar engkau lepas dari hukuman mati!” tegas Raja yang terlihat marah sekali.
“Wahai Baginda, hamba memiliki keluarga yang harus hamba hidupi.”
“Hamba memiliki
“Lalu hamba pun harus mendampingi anak hamba yang tengah trauma setelah pemerkosaan itu.”
Raja itu diam sejenak. Demikian pula dengan si pembunuh.
“Ada alasan lain?” tanya Raja dengan nada suara yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Hamba ingin memperbaiki diri dan kesalahan yang sudah hamba lakukan. Ampunilah hamba, wahai Raja yang bijaksana.”
“Masih ada alasan lain sehingga engkau bisa aku ampuni?” tanya Raja itu lagi.
Pembunuh itu diam. Ia merasa sudah mengajukan pembelaan diri yang masuk akal.
Hening menembus ruangan itu selama beberapa saat. Semua terdiam. Tiba-tiba suara sang Raja membelah ruang pengadilan itu.
“Pengawal! Pancung dia!” perintah sang Raja.
Pengawal terkejut dan langsung bergerak dengan tergopoh-gopoh membawa si pembunuh ke meja algojo. Si pembunuh memekik tangis dan meratap penuh kesedihan. Ia sudah membayangkan hukum pancung yang akan mengakhiri hidupnya. Sampailah pengawal dan si pembunuh di gerbang pintu.
Tiba-tiba…
“Wahai Baginda…” tiba-tiba si pembunuh berkata lirih.
“Apa lagi! Apakah hukumku tidak adil menurutmu?”
“Bukan, wahai Baginda. Hukuman Baginda setimpal atas kesalahan hamba karena keadilan Baginda. Tapi kali ini hamba ingin menyampaikan sesuatu yang menurut sangkaan hamba bahwa Baginda akan mengampuni kesalahan hamba.”
“Baik. Sampaikan!” jawab Baginda dengan tenang.
“Hamba memohon Baginda mengampuni hamba bukan karena hamba ingin memperbaiki kesalahan hamba.”
“Lalu?”
“Juga bukan karena hamba ingin menghidupi keluarga dan mendampingi anak perempuan hamba yang sedang trauma dari kejadian itu, wahai Baginda.”
“Lalu apa tujuanmu agar aku bisa mengampunimu?”
“Tujuan hamba hanya satu, duhai Baginda…”
“…karena Allah Maha Pemaaf dan Allah anugerahkan sifat itu kepada Baginda, duhai Raja yang bijaksana dan pemaaf.”
Tiba-tiba, Raja itu tertawa. Tak pelak, hal itu membingungkan para pengawalnya. Akhirnya, sebuah keputusan yang tak disangka pun dititahkan.
“Lepaskan dia! Biarkan dia kembali kepada keluarganya di bawah perlindungan dan jaminan dariku!” perintah sang Raja kepada pengawalnya.
“Pulanglah wahai pembela kehormatan. Maafku besertamu. Hukum Allah terhadap anakku sudah ditegakkan dan aku tidak mengambil sesuatu apa pun atas perbuatanmu.”
“Pulanglah…” ucap sang Raja setelah ia turun dari singgasananya dan membelai lembut kepala si pembunuh.
Si pembunuh pun membalas belaian itu dengan menyentuh kaki sang Raja. Lalu ia pulang ke rumah dengan langkah yang mantap dan penuh harapan untuk bisa memperbaiki kesalahannya, mendampingi, dan menghidupi keluarganya. Ia terus berjalan dengan mata yang berbinar haru disinari oleh cahaya matahari yang selalu menghangatkan jiwanya. Di balik itu semua, ia semakin yakin bahwa Negeri Antah Berantah dipimpin oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana, meski ia harus kehilangan istri tercinta dan kehormatan buah hatinya.
1 komentar:
Tidak mudah menjadi seorang raja yang bijak, seperti halnya seorang pemimpin yang adil. Menjadi seseorang yang adil berarti dia mampu menilai segala sesuatu dan memutuskan tanpa adanya berat sebelah dan yang pasti sesuai dengan syari'at Allah. Dan yang pernah saya dengar, seorang pemimpin yang adil adalah salah satu dari 7 golongan orang yang dilindungi Allah di hari akhir.
terima kasih semoga komentar saya ada manfaatnya.
R
Posting Komentar