Tentang Yayasan Itu


Kepalaku sakit. Nyat-nyut tak tentu arah. Kadang rasa sakit itu muncul di bagian otak kecil alias cerebellum (boleh jadi denyut sakit itu di atas medula oblongata, tetangga dari amygdala), seringkali di lobus temporal nun di atas kuping, dan berganti kewilayah kerja prefrontal cortex dan premotor cortex alias wilayah ubun-ubun. Temperatur tubuhku mulai naik lagi, 39 derajat celcius. Sendi-sendi tubuhku linu, nyeri, persis sakit rematik atau pengalaman tubuh ketika menikmati rumah beku (populer dengan Rumah Salju yang disukai anak-anak) yang membuat kupingku kebas dan mengeras seperti jelly yang kadaluarsa.



Sudah hari ketiga aku mengalami demam yang naik turun. Sepertinya istriku, bidan yang cerewet itu benar. Besok aku harus ke laboratorium untuk memeriksakan indikasi penurunan trombosit, leukosit, dan aspek darah lainnya. Itulah gejala utama untuk menentukan diagnosis demam berdarah (dengue). Demam yang naik turun, di hari ketiga sampai kelima terjadi penurunan trombosit, leukosit, hemoglobin, dll, yang ekstrem, sesekali timbul bercak merah di kulit dan bersifat mewabah (terjadi dalam suatu populasi).


Jika tidak diperiksakan, gejala demam saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis dengue, sebab boleh jadi demam tinggi muncul pada Anak Baru Gede yang sedang menahan epidemi rindu karena jatuh cinta. Bahkan epidemi rindu itu juga disertai bercak-bercak merah di kulit wajah yang dikenal dengan istilah jerawat alias agne vulgaris. Sejurus-bagi yang rada budeg sepertiku-istilah itu mirip dengan artikulasi dengue atau nama depan penyanyi keturunan Tionghoa yang vulgar, sekuler, dan suka mengumbar aurat demi popularitas di dunia tarik suara Indonesia. Entah itu plesetan atau parodi yang dipaksakan atau upayaku yang hampir sia-sia untuk memompa oksigen lebih banyak ke otak agar sakit kepala ini bisa berdamai dengan humor dan bisa melanjutkan tulisan ini.


Setengah jam yang lalu, dua miligram Valisanbe (Diazepam) aku tenggak, tapi mata tak bisa terpejam. Lalu Analsik pun sudah aku minum lima menit yang lalu, moga saja beberapa menit lagi sakit kepalaku bisa reda dan dua miligram Diazepam di dalam Analsik itu bisa membantu Valium membuat mataku terpejam. Kalau setelah menulis laporan harian ini suhu tubuhku belum juga turun maka aku harus menenggak Paracetamol yang sudah disiapkan oleh bidan cerewet yang bernama Indri Harmaili. Ck..ck..ck.


Lalu aku kembali teringat membuat laporan harian (self report) ini. Tujuannya bukanlah untuk sekadar menceritakan tentang diriku, demam berdarah, jerawat, penyanyi keturunan Tionghoa yang suka tampil hampir telanjang, mempromosikan sebagian jenis obat sedatif dan analgesik, atau mengumumkan jam tidurku yang hampir tak pernah teratur. Tapi sejak tadi selepas shalat Maghrib, aku terus teringat tentang pertanyaan yang sering aku dengar dari pembaca buku memoar Gilakah Aku?


Yayasan apa yang ingin dibuat? Kapan dan dimana Yayasan itu akan didirikan? Mengapa cuma 50 % dari royalti buku yang disumbangkan, kenapa tidak semua? Seperti apa Yayasan itu kelak? Dan lain-lain, dan sebagainya, dan aku lupa saking banyaknya pertanyaan itu.

Hmmm...


Aku malu. Aku malu jika ditanya tentang Yayasan itu. Yayasan itu adalah sebuah impian besar yang bertolak dari seorang mantan orang gila yang penyakitan. Mimpi untuk memberikan pelayanan kesehatan mental terbaik dan gratis kepada penderita skizofrenik, drugs abuser, dan pengembangannya ke pemberdayaan manusia Indonesia seutuhnya. Aku malu untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi, rasanya aku akan kehilangan ke-malu-an jika tidak menjawab pertanyaan yang sering masuk ke email, baik di yahoo, layanan jejaring sosial friendster, maupun yahoo messenger.


Baiklah. Daripada aku kehilangan ke-malu-an sebab mengumbar kata-kata tanpa menjawab pertanyaan yang kritis dan baik itu, aku ketik dan publikasikan laporan harian ini.


Kapan dan dimana Yayasan itu didirikan? Kapan pastinya aku tak tahu, tapi aku berencana akan mendirikannya setelah selesai Studi Magister Profesi Psikologi. Langkah pertama sebelum mendirikan Yayasan itu aku dan beberapa teman seprofesi yang memiliki visi yang sama akan melakukan Penelitian Kualitatif (wawancara, olah dokumentasi, observasi, dll) dengan mengunjungi berbagai tempat rehabilitasi di Indonesia yang berhasil memberikan intervensi berskala individual, komunitas, dan masyarakat. Aku pernah mendengar Nanggroe Aceh Darussalam adalah daerah yang berhasil melakukan hal itu setelah bencana Tsunami mengakibatkan banyaknya penderita gangguan mental yang trauma, depresi, maupun psikotik. Selain itu, salah satu Rumah Sakit Jiwa di Jawa Barat pun cukup berhasil mengembangkan konsep dan terapan intervensi kesehatan mental yang holistik.


Dimana akan didirikan? Insya Allah di Pekanbaru, Riau. Kenapa 50 % dari royalti yang didonasikan? Sebab sisa yang 50 % akan aku rencanakan sebagai modal usaha yang memback-up Yayasan itu, menciptakan lapangan kerja bagi mantan penderita dan orang lain, dan pengembangan potensi ekonomis lainnya agar para penderita bisa diberdayakan secara maksimal. Berbagai produk kerajinan, home industri, pusat karya seni dan budaya, produk dan pelatihan mekanik, niaga dan jual-beli, peternakan, perkebunan, koperasi, dan pemberdayaan moral yang spiritualistik yang dimonitoring dan dievaluasi secara berkala. Itulah potensi ekonomis yang memenuhi kriteria Bio-Psiko-Spiritual yang menari-nari di kepalaku sebagai back-up dana yang kontinu bagi keberlangsungan Yayasan itu. Sedangkan 50 % sisa royalti buku murni akan disalurkan untuk biaya rutin obat psikofarmakologis dan psikoterapi Yayasan itu kelak, tentu didukung juga oleh unit-unit usaha di atas.


Agaknya, Pemerintah/Penjajah Belanda lebih manusiawi mendirikan RSJ dengan lahan yang luas agar sebagian besar tanah itu bisa dimanfaatkan untuk peternakan, perkebunan, dan aktivitas ekonomis lainnya bagi penderita skizofrenik tempo dulu. Atau sebenarnya kita dijajah oleh bangsa sendiri yang semakin menyempitkan lahan RSJ demi pembangunan gedung yang tak jelas difungsikan untuk apa atau dijual oknum aparatur negara agar menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dari komisi yang diberikan oleh investor atau pembeli lahan. Akibatnya Rumah Sakit Jiwa sekarang bukan lagi merehabilitasi mental, tapi memberikan terapi psikofarmakologis yang menekan gejala gangguan jiwa melalui upaya penyeimbangan neurotransmitter. Penyeimbangan itu bekerja dengan cara memasukkan hormon sedatif artifisial yang dikandung oleh obat psikofarmakologis ke dalam tubuh agar gejala fisiologis yang abnormal bisa diminimalisir. Jadi obat itu bukan menyembuhkan gejala atau penyakit mentalnya, namun membantu mekanisme tubuh, khususnya sistem dan fungsi syaraf yang mengatur neurotransmitter kembali normal. Sedangkan jiwa harus mengasup pencerahan kognitif dan spiritual agar mencapai kesehatan mental yang paripurna.


Jadi, wajar jika aku tidak setuju dengan istilah Rumah Sakit Jiwa dengan konsep tersebut. Istilah yang tepat justru Rumah Sakit Tubuh yang Terganggu karena Jiwa karena pemerintah dan "segelintir" psikiater cuma memberikan intervensi pada tubuh melalui psikofarmakologis dengan landasan teori neurobiologis yang mekanistik, positivistik, dan selalu bertolak dari Perspektif Somatogenesis.

Perspektif Somatogenesis yang melihat skizofrenia dari tiga aspek, yaitu Skizofrenia merupakan penyakit Genetik (penyakit turunan). Perspektif ini sangat kejam dengan menyimpukan skizofrenia diturunkan jika dilihat berdasarkan pohon keluarga (genogram) yang nggak jelas dan diluar penalaran reliabilitas dan validitas. Kedua aspek Biochemistry, aktivitas neurotransmitter dopamine, serotonin, dan norephinephrine yang berlebihan di dalam lokasi tertentu pada otak. Aspek ketiga, Neuroanatomy, yaitu skizofrenia terkait dari gangguan pada lokasi tertentu pada otak, misalnya ventrikel, lobus frontalis, dll. Sangat klasik, kaku, dan picik jika perspektif itu dipertahankan dan mengabaikan unsur psikologis manusia yang unik dan dinamis.


Solusi yang lebih penting adalah aku setuju dengan penjajah Belanda yang berupaya memberikan pengobatan holistik kepada penderita skizofrenik tempo dulu jika dilihat dari sisi pemberdayaan ekonomis, penyediaan lapangan kerja, dan penggunaan fasilitas RSJ yang menyeluruh tersebut. Itulah konsep Yayasan yang aku impikan, meskipun agak berkhianat karena berpihak pada penjajah Belanda-daripada berpihak kepada penjajah dari bangsa sendiri?


Lalu, apa yang harus aku lakukan setelah menulis self report ini?

Tidur!!!


Sebab kepalaku semakin sakit, denyutnya semakin hebat, perutku mulai terasa mual, dan pandanganku sudah berkunang-kunang. Agaknya aku harus mengalah pada demam ini. Lalu besok pagi ke laboratorium, cek darah, dan berdoa sebanyak mungkin agar hasilnya tidak menunjukkan sindrom dengue. Jika tubuhku lebih enakan, aku akan hadir pada Rapat Dosen dan pembagian jadwal untuk persiapan mengajar di Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Persis jam sembilan pagi aku kembali mengawali rencana aktivitas mengajar di kampus yang aku cintai itu untuk mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika. Tapi yang paling penting adalah cek darah di laboratorium, besok pagi.


Lagipula, tidak bisa aku bayangkan jika aku masih juga membantah Bidan yang cerewet itu. Agaknya lengking suara istriku yang marah pasti lebih garang di kuping ini dibanding dengung nyamuk-nyamuk yang berseliweran pada minggu-minggu terakhir, tepatnya di bulan yang sering dibasahi hujan, dan wabah dengue tengah memasuki fase-fase akhir di wilayah tempat tinggalku.


Akhirnya, sebelum aku meracau tak karuan, malam ini aku semakin mengerti ucapan Henry Moore ketika menjawab pertanyaan apakah rahasia hidup. Ucapan Moore yang "sangat unik" aku temukan di buku Hunter Campbel ”Patch” Adams si dokter eksentrik yang melawan dan mengkritisi pengobatan medis yang komersil (dan mengabaikan nilai-nilai humanistik) hanya melalui pengobatan yang sederhana, yaitu tawa dan cinta yang dia ciptakan di Gesundheit (Yayasan Pengobatan Medis Gratis milik Patch Adams di Hillsbor, West Virginia). Jawaban Henry Moore sangat ringkas.


Rahasia hidup adalah memiliki sebuah tugas. Demi tugas itu kau curahkan semua hidupmu untuk mengerjakannya, demi tugas itu kau berikan segalanya, di setiap menit hari-harimu sepanjang sisa hidupmu. Dan yang paling penting tugas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin kamu kerjakan.


Apakah aku gila-karena terkesan delusional, imajinatif, distorsif, negativistik-dan mengigau-karena demam yang cukup tinggi? Boleh jadi ya, mungkin juga tidak.


Pekanbaru, 15 Febuari 2009, 23.01 WIB

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Rahasia hidup adalah memiliki sebuah tugas. Demi tugas itu kau curahkan semua hidupmu untuk mengerjakannya, demi tugas itu kau berikan segalanya, di setiap menit hari-harimu sepanjang sisa hidupmu. Dan yang paling penting tugas itu adalah sesuatu yang tidak mungkin kamu kerjakan.

Dan memang tidak ada yang tidak mungkin didunia Ini, tadi pagi baca terus aku merinding...

semoga cepat sehat Ya Mas Bahril...

Anonim mengatakan...

terima kasih banyak mas bahril atas inspirasi tulisannya :) Akan selalu ada jalan untuk tujuan yang mulia mas, Smg 4JJI memberikan mas bahril kekuatan lahir dan batin untuk menghadapi setiap tantangan yg datang dalam mewujudkan impian membangun yayasan itu.
"Kesuksesan merupakan kegagalan yang diputar-balikkan dari awan keraguan, dan kau tidak dapat menduga jarak menuju kesuksesan. Terkadang terasa jauh padahal sebenarnya DEKAT. Jadi BerJUANGlah terus!! Justru pada saat segala sesuatu terasa salah, Janganlah Menyerah kalah!Never Give Up :D"

Sehat dan Sukses slalu mas bahril :D

Rina Sukawati
CEO & Trainer FUNKY
Solusi Masalah Kawula Muda
Training & Consulting Center

... mengatakan...

Terima kasih Amarildo dan Rina. Moga bisa saling beri semangat dan inspirasi.

Take care.
B.

schizoprenic girl mengatakan...

pak bahril saya percaya Bapak tidak gila. saya percaya bapak bisa mewujudkan mimpi itu. latena saya juga memimpikannya Pak. saya bahkan menulis di buku tulis saya tentang bagaimana caranya saya melakukan penelitian tentang skizofrenia. jika saya.
selama ini saya hanya berangan-angan, sedangkan bapak sudah memulainya. jika bapak berhasil mendirikan yayasan itu, bolehkah saya ikut bergabung pak? saya ungin mendedikasikan hidup saya untuk orang2 skizofrenia.
dari dulu saya mencari LSm/yayasan yang membantu orang2 skizofrenia. saya ingin bekerja di sana pak.

hal itu karena saya bisa merasakan betapa sakitnya menjadi orang yang terpinggirkan dan dijauhi orang.
Wujudkan mimpi Bapak. semoga Allah memberikan kekuatan.

Strawberry

... mengatakan...

Alhamdulillah, senang membaca komentar kamu, Strawbery.

Pertama, tentang keinginan kamu bergabung kelak, dengan senang hati saya mendengar dan menerimanya kelak. Untuk sementara waktu, mari kita sama-sama fokus dengan tugas, peran, fungsi, dan tanggung jawab di masa kini agar rencana ke depan itu bisa terwujud, insya Allah.

Kedua, tentang catatan harian kamu itu, saya harap terus disimpan dan didokumentasikan. Saya yakin kelak itu akan berguna.

Ketiga, tentang Yayasan itu, insya Allah akan berdiri. Tapi, yang jelas, siapapun yang melakukan perbaikan di bidang kesehatan mental itu, apakah saya atau orang lain, bukan poin utama.Tapi saya cuma berharap agar bisa memberikan peran di dalam bidang itu kelak dengan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Manajemen (pengawasan, kontrol, pendistribusian, keuangan, dll) dalam bentuk advokasi hukum agar penderita yang miskin dan marginal bisa memperoleh pelayanan kesehatan minimal, pengobatan psikifarmako terbaik, pemberdayaan psikologis, moral dan spiritual melalui program2 konkrit dalam sebuah wadah LSM, yayasan, atau organisasi apapun adalah upaya Manajemen yang maksimal. Mari kita bersama2 wujudkan itu melalui doa dan berbagai upaya konkrit, mulai dari yang terkecil, mulai dari saat ini.

Moga bermanfaat dan terus bersemangat dalam Syiar Islam, ilmu pengetahuan, dan ilmu yang bermanfaat.

Dan jangan lupa minum obat cacing trus cuci kaki sebelum tidur agar tidak digigit nyamuk dengue!!
(halah! kok nggak nyambung, hehehe...)
Just for laught!

take care ur self.
trims,
B.


Pembelian Buku dan Produk Lainnya Melalui Bahril Hidayat

Pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat dapat dilakukan melalui email dan telepon ke ponselnya pada nomor 081918608195. Silakan menghubungi via email, sms, atau telepon untuk memastikan apakah buku yang dipesan masih ada atau tidak. Ongkos kirim disesuaikan dengan kota asal pembeli dari alamat suratnya (Yogyakarta). Untuk pembeli di wilayah Yogyakarta dapat membeli dan mengambil langsung ke alamat suratnya (lihat alamat penulis selama studi S2). Pembelian melalui Bahril Hidayat dibayarkan melalui rekening Bank Mandiri dan BCA.



Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah pembelian buku dan produk lainnya melalui Bahril Hidayat silakan klik dan buka Datuk Hitam Online dan bacalah bagian Pemesanan Buku Melalui DH Online.